Jurnalistika
Loading...

OPINION

2025 Tiba, Masih Pentingkah Organisasi Bagi Mahasiswa?

Seutas opini yang tak perlu diambil hati - Aldiansyah Sikumbang

  • Aldiansyah Sikumbang

    30 Des 2024 | 08:25 WIB

    Bagikan:

image
Ilustrasi. (Pixabay.com)

Tidak dapat dipungkiri peran organisasi sangat besar dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan, menghapus segala penindasan, hingga akhirnya dengan lantang mampu memproklamasikan kemerdekaannya 79 tahun silam.

Dengan gagah dan berani Soekarno didampingi Mohammad Hatta membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Yang sebelum momen itu tiba, kedua proklamator bangsa ini sempat beradu gagasan dengan para organisatoris seperti Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh yang menculik mereka ke Rengasdengklok.

Dapatlah dilihat tokoh-tokoh perjuangan tersebut adalah orang-orang yang telah ditempa di organisasi, meski pada masa itu sebutan mahasiswa belum sepopuler sekarang, namun mereka adalah pemuda-pemuda yang bergaul serta menghimpun diri di organisasi. Dan yang jelas, berkat berproses dalam satu organisasi para pejuang-pejuang kemerdekaan itu mampu mengusir penjajah dari negeri mereka sendiri.

Barangkali karena catatan sejarah tersebutlah yang mungkin membuat sang penulis termasyhur Indonesia Pramoedya Ananta Toer dapat mengatakan “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” dalam bukunya berjudul Jejak Langkah.

1. Kemunculan Organisasi Mahasiswa Pasca-Kemerdekaan

Selain itu, karena membaca sejarah pula juga lah yang mungkin mendorong banyak organisasi bermunculan pasca-kemerdekaan, khususnya mahasiswa yang lebih identik dalam mengelompokan diri. Seperti menyatukan diri dalam identitas agamais maupun nasionalis, walaupun sebenarnya kedua sebutan itu dapat berjalan beriringan.

Sebut saja organisasi Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang dibentuk pada 1947 melalui Kongres Mahasiswa I di Malang. Namun, organisasi ini tidak berumur panjang.

Kemudian, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang muncul setelah kemerdekaan Indonesia baru berumur dua tahun (1947). Diprakarsai oleh Lafran Pane, yang juga lahir dari seorang ayah tokoh penggerak organisasi di daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Sutan Pangaruban Pane

Singkatnya Lafran membentuk HMI karena melihat berbagai kondisi di lingkungan mahasiswa tempat dirinya kuliah yakni Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, yang menurutnya tak sesuai dengan ajaran Islam (Sitompul: Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam dan Relevansinya dengan Perjuangan Bangsa Indonesia, 1986). Makanya di awal tujuan organisasi berasas Islam ini adalah “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.”

Berbeda dengan PPMI, HMI memiliki sepak terjang yang cukup baik, dan masih bertahan hingga sekarang, sehingga tak ayal HMI menjadi organisasi mahasiswa tertua di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, kader-kader HMI menunjukkan andilnya terhadap arah bangsa, seperti mengambil peran ketika aliansi mahasiswa menyatukan diri dalam satu bendera yang disebut Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk menggelar aksi besar-besaran di ujung pemerintahan Soekarno. Mereka menyerukan tuntutan mereka yang tertuang dalam Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Isinya, Pembubaran PKI dan para anteknya, Membubarkan atau merombak kabinet Dwikora, Menurunkan harga kebutuhan pokok.

Di samping itu, setelah keberadaan HMI semakin meluas di berbagai kampus-kampus di Indonesia, muncul juga sejumlah organisasi lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pada 1954, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 1960, hingga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 1961. Satu hal yang pasti dari kemunculan organisasi-organisasi ini adalah peran penting dalam mengawal keberlangsungan negara maupun mendidik mahasiswa supaya memiliki nilai lebih.

Oleh karena itu, wajar banyak pentolan-pentolan organisasi itu yang muncul menghiasi pentas nasional, baik di bidang politik, akademis, atau sektor-sektor lain. Misalnya dari HMI ada nama seperti Jusuf Kalla yang sudah dua kali menjabat wakil presiden, Mahfud MD yang pernah ditunjuk jadi menteri di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan era Joko Widodo (Jokowi), dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Kemudian dari GMNI ada nama-nama sekaliber Taufiq Kiemas (mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia), Antasari Azhar (Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Djarot Saiful Hidayat (Mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Artinya, berorganisasi pada zaman mereka menjadi mahasiswa terlihat masih memberikan hasil pada kehidupannya. Meski memang tidak semua nama yang berorganisasi di era mereka tercium.

2. Organisasi Mahasiswa Hari Ini

Organisasi mahasiswa pasca reformasi 1998 masih ada, bahkan semakin banyak baik berskala nasional maupun primordial. Lebih-lebih melompat ke era Indonesia ketika memilih demokrasi yang mengikutsertakan masyarakat untuk memilih langsung pemimpin maupun wakil rakyat yang bakal menyuarakan suaranya di parlemen sejak 2004 silam.

Pada masa ini, mahasiswa semakin marak mengelompokkan diri dalam perkumpulan satu etnis maupun satu daerah yang macam-macam sebutannya. Ada yang menyebut mereka dalam himpunan, serikat, perkumpulan, perhimpunan, dan sebagainya. Dan mereka-mereka yang berada di organisasi primordial ini biasanya juga tergabung dalam organisasi nasional yang telah disebutkan tadi.

Sekilas, maraknya organisasi ini memang angin segar bagi mahasiswa baru, karena mempunyai banyak pilihan tempat untuk berproses. Saat ingin menyatukan diri dengan orang-orang satu daerah ketika kuliah di luar daerah, bisa bergabung dengan organisasi primordial, begitu juga ketika ingin memiliki pengalaman lebih luas maupun jaringan lebih tinggi, mereka bisa bergabung dengan organisasi-organisasi tua yang sudah punya nama di tingkat nasional.

Namun sayangnya, semangat berorganisasi ini tampak tidak sejalan dengan semangat nafas organisasi itu sendiri. Apa maksudnya? Gerakan organisasi, khususnya dalam jangka waktu 10 tahun ke belakang tampak mengalami kemunduran, tidak ada lagi gebrakan mahasiswa yang terasa berdampak signifikan dalam perannya untuk kontra-kekuasaan korup atau zalim maupun pembela rakyat sebagaimana yang tercantum dalam teks “Sumpah Mahasiswa”.

Padahal, berbicara soal masalah negeri yang merugikan merugikan, tentu sangat banyak, begitu banyak sekali. Baik itu soal kebijakan maupun hal-hal yang lain yang memaksa masyarakat untuk menuruti dan menyerah, karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Memang pernah ada gelombang besar yang diciptakan mahasiswa ketika menolak Revisi UU KPK dan RUU KUHP pada 2019 silam. Amukan mahasiswa saat itu tidak hanya terjadi di satu titik, melainkan di hampir seluruh daerah-daerah besar di Indonesia, dan tentu saja yang paling disorot adalah aksi yang berlangsung di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

Puluhan kampus mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) turut meramaikan aksi ini, tidak terkecuali organisasi-organisasi tua yang sudah punya sepak terjang dalam melakukan unjuk rasa. Tak heran lautan massa membanjiri sepanjang jalan di depan gedung DPR kala itu.

Bahkan aksi ini tidak hanya berlangsung satu hari, tiga hari berturut-turut mahasiswa datang dengan tujuan yang sama ke tempat yang sama waktu itu. Pentolan-pentolan BEM pun turut mendapat sorotan, bahkan beberapa dari mereka mendapat undangan dari televisi nasional untuk menyampaikan pikirannya terkait penolakan Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang mereka canangkan. Soal performa mereka yang diundang dalam menyampaikan isi pikiran mereka ini, masih dapat dilihat sampai sekarang di layanan streaming video.

Namun, meski berhari-hari mahasiswa melakukan aksi, mereka dapat dikatakan kalah, karena apa yang mereka inginkan tidak tercapai. RUU KPK dan RUU KUHP hanya ditunda sementara pengesahannya, setelah keadaan tenang, dengan senyap dan teliti, aturan ini tetap berlaku, dan efeknya pun dapat dirasakan sekarang.

Lalu yang tersisa dari demo ini hanya para pentolan-pentolan mahasiswa tadi yang jadi ‘selebriti dadakan’, diundang beberapa oleh televisi, bahkan ada yang mengundang bukan untuk membahas dirinya sebagai mahasiswa atau aktivis. Tak dapat dipungkiri juga, karena popularitas yang mereka dapat karena nampang mulu di televisi, ada juga dari mereka yang mendapatkan ‘endorse’ berbayar dari brand tertentu. Sehingga tidak berlebihan jika mereka yang pernah ikut demo mengatakan “anggota yang kepanasan, ketua yang kenyang”.

Sempat juga mahasiswa bersatu dengan buruh dan elemen masyarakat lainnya melakukan demonstrasi besar-besaran pasca Pilpres 2024 dengan tuntutan menolak keputusan MK karena dinilai mengancam demokrasi. Hasilnya memang lebih baik dari tahun 2019, karena akhirnya keputusan MK itu dibatalkan, tapi yang terjadi setelahnya dapat dilihat dari hasil Pilkada 2024.

3. Organisasi Pengancam

Sekali lagi, memang organisasi mahasiswa masih ada dan terus bertambah sampai hari ini, hanya saja keberadaan mereka yang berbeda dari era-era sebelumnya. Mahasiswa masih suka berorganisasi, namun tidak banyak lagi yang melakukan pergerakan sebagaimana perannya sebagai mahasiswa atau tujuan organisasi yang begitu mulia.

Sejumlah organisasi-organisasi nasional saat ini lebih suka mengandalkan nama besarnya dan tokoh di belakangnya untuk mendekat kepada kekuasaan, dan ini biasanya dilakukan oleh para petinggi, sehingga anggota di level bawah hanya ‘produk’ untuk dijual. Tujuannya tentu untuk mempertebal isi sekretariat agar bisa menggelar rapat dengan hidangan berkelas di atas meja.

Apabila mereka merasa tidak mendapatkan respon baik dari yang mereka dekati, maka mereka akan menebar ancaman untuk menggelar aksi besar-besaran. Dalam langkah ini, seringkali pemikiran idealis dan semangat berorganisasi anggota biasa yang dikorbankan.

Hal seperti ini juga tampaknya berlaku di organisasi-organisasi selevel primordial, bahkan mungkin bisa lebih parah, menebar ancaman sana-sini demi bisa membeli kuaci. Bahkan bisa jadi ada organisasi yang sengaja dibentuk hanya untuk mengambil peran ini.

Sialnya, orang-orang yang diancam oleh organisasi-organisasi itu juga lebih memilih untuk berdamai dan menuruti permintaannya. Alhasil, organisasi mahasiswa dan pemerintah jadi teman karib, yang sebelum lebih sering berada di tempat yang berseberangan.

Sementara di lain sisi, organisasi perimordial juga saat ini lebih banyak menjadi tempat adu nasib, ajang pamer, dan nongkrong berbicara hal-hal yang tidak konkrit dan sering utopis, padahal tujuan organisasinya seolah-olah bakal hadir di tengah-tengah masyakarat untuk menjadi tumbuhan yang memberi harapan lahan tandus. Berbeda sekali dengan cerita-cerita senior-seniornya dahulu kala.

4. Tiada Guna Berorganisasi Lagi

Jika sampai hari ini penyakit organisasi masih tak dapat diobati, maka mahasiswa yang ingin berorganisasi dengan tujuan memaksimalkan perannya sebagai mahasiswa dan mempertebal ilmu di bidang yang diminati, sebaiknya berpikir lagi untuk masuk organisasi mahasiswa masa kini. Terlebih-lebih organisasi skala nasional yang lebih sulit untuk menemukan ilmu sesuai yang dicari di kampus.

Kalau pun ingin berorganisasi, sebaiknya masuk ke organisasi-organisasi jurusan di kampus yang lebih spesifik, dan tentunya berpotensi lebih besar menemukan apa yang dicari. Sementara, jika ingin berproses di luar, pilih organisasi primordial yang lebih bernuansa kekeluargaan, tanpa embel-embel mengamalkan tri dharma perguruan tinggi, karena hal ini sudah otomatis didapat nantinya.

Tidak ada organisasi yang menjamin dapat menuntun ke jalan masa depan yang cerah, karena kendali tetap ada sepenuhnya di diri sendiri. Jika ingin mengejar mimpi sesuai dengan cita-cita awal kamu masuk kuliah dan jurusan yang dipilih, ada baiknya fokus saja, sehingga mendapatkan karier yang diidamkan.

Terkadang menjadi mahasiswa yang dicap "kupu-kupu" oleh mereka yang syok berorganisasi lebih baik daripada mereka yang berorganisasi justru lupa sedang menjalani kuliah guna mengangkat drajat diri dan keluarganya.

 

"Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis yang diunggah ke platform terbuka Jurnalistika Community. Tulisan Aldiansyah Sikumbang tidak mewakili pandangan dari pihak Jurnalistika Community."


  • Aldiansyah Sikumbang

    Masih belajar, terus belajar, dan tak henti belajar.

Jurnalistika Community adalah platform terbuka untuk menulis. Semua konten sepenuhnya milik dan tanggung jawab kreator. Pelajari Selengkapnya.

Artikel lain dari Aldiansyah

    Kamu suka artikel dari penulis ini? Lihat lagi yang lainnya dari Aldiansyah Sikumbang

    Rekomendasi