Jurnalistika
Loading...

OPINION

Perempuan: Tubuhku, Pakaianku, Adabku

Pakaian dan tubuh memang pilihan mutlak seorang perempuan, tapi adab juga tidak boleh ketinggalan.

  • Dilla

    27 Feb 2025 | 06:46 WIB

    Bagikan:

image
Ilustrasi: Wanita menutup tubuhnya dengan pakaian yang identik dengan muslim. (Pixabay)

Tubuh perempuan selalu menjadi medan pertarungan. Di satu sisi, ia adalah milik mutlak pemiliknya: sebuah ruang privat yang seharusnya bebas dari intervensi siapa pun. Di sisi lain, tubuh perempuan sering kali dijadikan objek publik, dikomentari, diatur, bahkan dipolitisasi.

Dalam konteks agama, khususnya Islam, tubuh perempuan dan pakaiannya menjadi salah satu topik yang paling sering diperdebatkan. Antara pilihan personal dan kewajiban moral, antara kebebasan dan adab, di mana sebenarnya letak keseimbangannya?

1. Pakaian: Antara Ekspresi Diri dan Tanggung Jawab Sosial

Pakaian adalah bahasa. Ia adalah cara seseorang mengekspresikan identitas, keyakinan, dan nilai-nilai yang dipegangnya. Bagi perempuan Muslim, pakaian bukan sekadar kain yang menutupi tubuh, melainkan juga simbol kesadaran akan hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat.

Dalam Islam, pakaian yang menutup aurat (seperti jilbab atau hijab) dianggap sebagai bentuk ketaatan dan kesadaran akan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta. Ini adalah pilihan spiritual yang bersifat personal, namun memiliki dimensi sosial yang luas.

Namun, pakaian juga tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari konteks sosial dan budaya. Di tengah masyarakat, pakaian adalah bagian dari adab—cara seseorang menghormati dirinya sendiri dan orang lain.

Adab bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan etika yang menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.

Ketika seorang perempuan Muslim memilih untuk menutup aurat, ia tidak hanya menaati perintah agama, tetapi juga menunjukkan kesadaran akan posisinya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar.

2. Gerakan "Bebas Berpakaian" atas Nama Kesetaraan Gender

Belakangan ini, muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender untuk mendorong kebebasan berpakaian tanpa batas. Gerakan ini berargumen bahwa perempuan harus bebas menentukan apa yang ingin dikenakan, tanpa tekanan agama, budaya, atau norma sosial.

Mereka menolak segala bentuk aturan yang dianggap membatasi kebebasan perempuan, termasuk aturan berpakaian dalam Islam.

Namun, gerakan ini sering kali terjebak dalam simplifikasi yang berbahaya. Mereka menganggap bahwa kebebasan berpakaian adalah indikator utama kemajuan perempuan, seolah-olah semakin terbuka pakaiannya, semakin setara pula posisinya dengan laki-laki.

Padahal, kesetaraan gender seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak tubuh yang ditampilkan, melainkan dari sejauh mana perempuan memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan.

Gerakan ini juga cenderung mengabaikan dimensi spiritual dan adab dalam berpakaian. Mereka lupa bahwa kebebasan tanpa batas bisa menjadi bumerang.

Ketika pakaian dijadikan alat untuk mengeksploitasi tubuh perempuan—entah untuk kepentingan komersial, politik, atau sekadar memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis—maka yang terjadi justru adalah penindasan baru atas nama kebebasan.

3. Adab: Titik Temu antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

Adab adalah konsep yang sering kali diabaikan dalam perdebatan tentang pakaian perempuan. Padahal, adab inilah yang seharusnya menjadi titik temu antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial.

Adab mengajarkan bahwa setiap tindakan—termasuk berpakaian—harus mempertimbangkan dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain.

Dalam Islam, adab berpakaian tidak hanya tentang menutup aurat, tetapi juga tentang menjaga kesopanan dan menghormati nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Ini bukan berarti perempuan harus tunduk pada tekanan sosial, melainkan bahwa ia harus memiliki kesadaran akan posisinya sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.

Adab adalah bentuk kematangan spiritual dan sosial, di mana kebebasan individu tidak dijalankan dengan mengorbankan nilai-nilai kolektif.

4. Tubuhku, Pakaianku, Adabku

Tubuh perempuan adalah miliknya sendiri. Ia berhak memutuskan apa yang ingin dikenakan, bagaimana ia ingin mengekspresikan dirinya, dan bagaimana ia ingin berinteraksi dengan dunia. Namun, kebebasan ini tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya sebagai makhluk spiritual dan sosial.

Bagi perempuan Muslim, pakaian adalah bagian dari ibadah dan adab. Ia adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus menghormati masyarakat.

Kritik terhadap gerakan "bebas berpakaian" bukanlah upaya untuk membatasi kebebasan perempuan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kebebasan tanpa adab hanya akan melahirkan ketidakseimbangan baru.

Pada akhirnya, pakaian adalah cerminan dari siapa kita. Ia adalah bahasa yang berbicara tentang keyakinan, nilai, dan identitas kita.

Maka, berpakaianlah dengan kesadaran, bukan hanya sebagai individu yang bebas, tetapi juga sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri, dan sesama.

Tubuhku adalah milikku. Pakaianku adalah pilihanku. Adabku adalah tanggung jawabku.

__________

"Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis yang diunggah ke platform terbuka Jurnalistika Community. Tulisan Dilla tidak mewakili pandangan dari pihak Jurnalistika Community."


  • Dilla

    Shine like the moon

Jurnalistika Community adalah platform terbuka untuk menulis. Semua konten sepenuhnya milik dan tanggung jawab kreator. Pelajari Selengkapnya.

Artikel lain dari Dilla

    Kamu suka artikel dari penulis ini? Lihat lagi yang lainnya dari Dilla

    Rekomendasi