jurnalistika.id – Bergerak atau mati. Motto inilah yang membuat CEO dari PT. Biomagg, Aminudi Amin, terus berjuang saat kepentok masalah 5 tahun silam. Semangatnya yang membara menabrak dinding masalah bahwa harga pakan ternak saat itu terus melambung. Akibatnya, profitnya kena imbas.
Tidak mau kalah dengan kesulitan, ia malah menciptakan peluang usaha – Biomagg. Pergulatannya memperoleh pakan dari sampah organik menempatkan ia sebagai peraih penghargaan The Best Of The Best Wirausaha Mandiri tahun lalu. Ia mengalahkan 5500an peserta lainnya.
Latar belakangnya kuliah di IPB jurusan Pertamanan, turut memuluskan bidang yang ia geluti sekarang ini. Ia tidak pernah patah arang dengan apa yang terjadi.
Sebaliknya, menurutnya, sebagai khalifah fil ardh, sudah selayaknya manusia merawat bumi sebagai sebuah bentuk tanggung jawab dan kesadaran penuh sebagai manusia. Salah satunya bijak terhadap sampah.
Baca juga: Upaya Sekolah Alam Prasasti Membumikan Ide Ki Hajar Dewantara di Bekasi
Ringkasnya, Biomagg adalah perusahaan yang menyediakan solusi pengolahan sampah organik (waste management) secara bertanggung jawab dan terpercaya.
Perusahaan ini berdiri pada tahun 2016 tanpa karyawan, kini Biomagg sudah punya 27 karyawan dan 120 reseller. Tak hanya itu, pengolah sampah ini juga sudah punya tiga titik cabang di Cikarang, Salatiga dan Lampung.
Modal Awal 500 Ribu
Sebagai pengusaha, Aminudi tidak mengeluarkan modal yang terlalu besar saat pertama kali membuka usaha ini. Dengan modal minim, kini ia bisa raih omset 200 juta per bulan.
“Modal awal waktu itu hanya 500 ribu. Saya belum punya karyawan. Saya ambil sampahnya sendiri. Mengolahnya. Menggunakan untuk kebutuhan sendiri dan menjualnya kepada pelanggan,” jelasnya.
Pengelolaan sampah organik menjadi pakan ternak waktu itu berawal dari sebuah masalah.
“Saya ternak lele. Namun, saat itu harga pakan lele membuat omset saya turun. Sejak saat itu, saya mulai mencari alternatif lain untuk kebutuhan pakan,”imbuhnya.
Lalu, penyuka tokoh Mohamad Hatta ini mulai mencari informasi terkait pakan alternatif ini. Akhirnya dia menemukan bahwa di beberapa negara, mereka menggunakan maggot.
Maggot adalah belatung atau bernga/berenga adalah larva dari lalat. Tempayak ini biasa ditemukan pada barang-barang yang membusuk seperti bangkai, buah, atau sayur-mayur yang rusak.
Setelah mengetahui alternatif ini, timbullah pertanyaan bibitnya dari mana.
“Akhirnya saya memutuskan untuk memancing lalat ini dari alam. Saya banyak belajar dari yutub dan jurnal ilmiah demi mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk mengembangkannya.”
Saat itu, ia harus memutuskan, terus mengelola usaha lele atau mengembangkan waste management sampah organik untuk memperoleh maggot.
“Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk fokus mengelola sampah organik dan menghasilkan produk berupa pakan ternak berbasis maggot.”
Biomagg Terus Berkembang
Usahanya terus berkembang. Aminudi juga tidak berpuas diri. Ia terus mengikuti berbagai kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hadiah-hadiah berupa dana yang ia peroleh – ia kembangkan menjadi aset usaha.
Sampah organik yang menjadi kebutuhan pokok pun tidak menjadi kendala lagi.
“Kini, saya sudah punya pemasok sampah organik yang berasal dari perumahan, pengusaha katering dan hotel.”
Hasil pengelolaan sampah mereka pun berubah menjadi pakan ternak dan pupuk yang ia gunakan sendiri juga ia jual untuk pelanggan.
Biomagg pun terus berkembang. Saat ini, perusahaan ini juga menggunakan hasil pupuk buatan mereka untuk memproduksi tanaman.
Baginya, mengelola sampah adalah tantangan sekaligus berkah tersendiri.
“Negara kita itu penghasil sampah yang besar. Usaha saya ini merupakan muara yang baik untuk mengelola sampah jadi bermanfaat. Sampah memiliki efek buruk jika tidak dikelola dengan baik. Sampah bisa merusak lingkungan dan juga mempengaruhi kesehatan,”ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa setiap rumah tangga menghasilkan sampah organik setiap harinya. Contohnya, sisa makanan atau potongan sayur yang terbuang.
Baca juga: Prospek Bisnis Durian Musang King: Raja Buah
Oleh karena para emak biasanya jijik dengan sampah organik, pihaknya juga menyediakan Magobox untuk mengolah sampah organik di rumah.
“Selain magobox, Biomagg juga menyediakan layanan-layanan berupa. Di antaranya berupa : e-learning, visit farm, drop your waste, join research dll.”
Harapan
Penyuka warna hitam ini menjelaskan bahwa dalam berusaha penting sekali mempertimbangkan passion. Sebuah usaha akan terus berjalan jika ownernya melakukan bisnis yang sesuai dengan minatnya.
“Semua usaha kalau mau long term, ya owner harus mencintai bidang tersebut, walau itu dengan sampah.”
Pria yang memiliki hobi bertani ini mengakui, saat ini penjualan yang paling besar adalah produk pakan. Pemasaran Biomagg merata di seluruh Indonesia. Kendati demikian, ia juga mengalami saat-saat yang berat awal pandemi.
“Mengalami kendala karena awal-awal pandemi, hotel dan resto kan terdampak. Akhirnya sampah berkurang. Kami harus cari dari sumber lain.”
Kendati demikian, pandemi memberinya berkah. Orang-orang yang WFH memiliki banyak waktu luang di rumah. Untuk mengatasi kejenuhan, mereka mencoba hobi mereka – ikan hias. Akibatnya, perusahaan yang berkantor di Cimanggir ini mengalami peningkatan sales.
Selain masa-masa berat di saat pandemi, bisnis yang mengelola sampah di Pancoran Mas Depok ini, mengalami masa sulit di awal usaha.
“Susah mendapatkan sampah terpilah. Sampai akhirnya ketemu dengan pasarnya. Bukan itu saja, Biomagg juga belum menemukan business modelnya, begitupula dengan pemasarannya. Namun, itu semua kini sudah teratasi dengan baik.” ucapnya.
Baca juga: Prospek Cerah Vanili Jadi Produk Pertanian Andalan
Sebelum menutup wawancara, pria kelahiran 3 Desember 1989 ini berharap Biomagg bisa mengelola sampah dengan skala yang lebih besar lagi.
Ia juga berharap agar masyarakat bisa sadar bahwa tentang sampah adalah bukan sekadar bayar uang sampah dan selesai. Lebih dari itu mereka juga bisa kelola sampah sendiri dari rumah. Tentu saja hal ini ramah bagi bumi.