jurnalistika.id – Pesantren adalah sebuah tempat belajar konstruktif. Dengan pendekatan dan cara seorang guru yang berperan sebagai fasilitator dan membimbing siswa dalam menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya pada masyarakat.
Pesantren AZA salah satunya. Pondok yang berdiri pada 23 Juli 2018 dan memiliki 135 santri ini terletak di Jl. Kemang Pabuaran No.08 RT 02/RW 01 Desa Kemang, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Ustad Adnan Matien, salah satu pendiri pesantren AZA mengisahkan pesantren yang mengedepankan nilai-nilai Ahlul Sunnah Wal Jamaah ini dibangun karena keinginannya membuat sarana pendidikan yang bergerak pada bidang sosial berbasis agama.
“Sehingga munculah ide untuk mengembangkan fungsi lain dari yayasan dalam bidang pendidikan yakni berdirinya sekolah formal dan pesantren untuk umum, dan keringanan pada anak yatim piatu dan warga kurang mampu,” pria berusia 54 tahun ini menjelaskan.
Sebetulnya nama AZA adalah singkatan dari Adnan Zaelani Al hasan. Ini adalah nama yang diambil dari nama 3 pendiri/wakif yang ikut berperan dalam proses pembebasan lahan dan pembangunan gedung.
Model Pendidikan AZA dan Kendalanya
“Kami menyediakan dua model pendidikan yaitu pesantren dan sekolah formal. Adapun pesantren, kami berkiblat ke kementrian agama, yang di awasi oleh pengawas agar sesuai dengan prosedur yg ada,” paparnya lagi.
Sementara itu, model sekolah formal, AZA mengacu kepada Dinas Pendidikan dan Kemendikbud untuk sistem kurikulum yang disetarakan pada sekolah formal lainnya.
Setiap perjuangan, pasti ada kendalanya. AZA pun mengalaminya.
“Kendala pertama yaitu SDM yang kurang dan tidak linearnya untuk seluruh mata pelajaran sekolah,” imbuhnya.
Selain itu, kendala kedua dalah finansial. Hal ini menjadi sebab
ketidakleluasaan untuk merekrut orang, karena AZA belum mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti bos/ bantuan operasional sekolah.
“Hampir 60 % santri gratis karena termasuk yatim piatu dan dhuafa,” ujarnya.
Kiat-kiat Mengelola Pesantren dan Pandemi
Kepada Jurnalistika, Ustad Adnan membocorkan rahasianya mengelola pendidikan ini. Yang utama adalah niat yang ikhlas, di dukung oleh pengalaman pesantren dan pentingnya komunikasi dengan tokoh masyarakat dan agama.
Keberadaan pesantren turut berkontribusi dan berperan untuk membantu hal- hal yang di butuhkan oleh masyarakat terutama di bidang keagamaan.
Apalagi saat pandemi, ia mengakui tidak mudah mengelola santri-santri yang kebutuhannya harus terpenuhi setiap hari.
“Dalam mensiasati pandemi covid 19, kami tidak menyebar proposal atau meminta bantuan kepada masyarakat/turun ke jalan. Allhamdulillah atas doa dan izin Allah ada beberapa donatur dan masyarakat yang tergerak hatinya membantu, sehingga beban pengeluaran kami semakin ringan,” imbuhnya.
The Memorable Things, The Dream Hingga Amalan Langit
Pria ini tidak menyangka, karena AZA ada atas izin dan kekuasaan Allah. Hanya dalam jangka waktu 3 tahun pembebasan lahan, AZA sudah mendapat 9000m 2 – yang diwakafkan seluas 3167m 2 .
Seluruh bangunan sudah hampir 80% berdiri, padahal mayoritas anak-anak di pesantren di gratiskan.
Kendati tidak mudah, AZA terus bercita-cita agar bisa eksis dan bermanfaat terutama untuk generasi muda.
Dalam kesehariannya, AZA sangat yakin akan pertolongan Allah.
“Untuk amalan kami selalu rutin membaca waqiah setelah subuh dan rutin solat dhuha di pagi harinya, selebihnya kami banyak membaca sholawat nariyah dan berdoa agar dijauhkan dari musibah dan bencana serta didatangkan keberkahan,” katanya menandaskan.
Pendidikan Konkret AZA
Transfer of knowledge and value. Inilah yang ingin dibangun selalu oleh AZA. Artinya, setelah teori di pesantren, santri-santri wajib mengamalkannya di masyarakat.
Dalam hal ini, AZA menggandeng orang tua dan guru untuk tetap menjadi fasilitator yang baik yang selalu support dengan semangat juga doa.
AZA paham betul, kemajuan jaman dengan segala carut-marutnya merupakan situasi dan kondisi seperti sebuah pisau. AZA terus memberikan yang terbaik dengan tetap mengedepankan ahlaqul karimah, dan memfilter budaya dan kebiasaan yang terjadi pada saat ini yang tidak sesuai dengan nafas Islam.
“Kami membatasi anak-anak pada pengunaan gadget dan memberikan motivasi juga kisah kisah ulama dan penuntut ilmu sehingga mereka lebih terbangun girohnya untuk meninggalkan sesuatu yangh tidak bermanfaat dan
mudhorot.”
Meski sudah hampir 10 tahun lebih dalam berdakwah dan mengurus santri di majelis dan sekolah, pria yang memutuskan keluar dari pekerjaan tetapnya di Dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Rawamangun, mengaku tidak pernah menyesal menjalani kehidupannya sekarang ini.
“Bagi saya, AZA adalah investasi amal yang tidak terputuskan ketika kita mati, sebab ilmu yang kita amalkan akan menjadi syafaat bagi yang mengamalkannya,” pungkasnya.
Baca juga: Ponpes Daarul Qori’in, Ponpes Modern dengan Penggunaan Bahasa Asing