jurnalistika.id – Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 terus menuai pro dan kontra.
Meski dianggap sebagai langkah untuk meningkatkan penerimaan negara, kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai lapisan masyarakat.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, setidaknya ada lima alasan utama mengapa kenaikan PPN menjadi 12 persen perlu ditolak.
1. Membebani Masyarakat Menengah ke Bawah
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa barang-barang kebutuhan pokok seperti sembako tidak terkena PPN, kenyataannya banyak barang dan jasa sehari-hari yang tidak tergolong mewah justru terdampak.
Baca juga: Petisi Tolak Kenaikan PPN 12 Persen Diteken 92 Ribu Orang
Produk rumah tangga seperti deterjen, sabun mandi, dan pasta gigi yang menjadi kebutuhan dasar setiap keluarga akan mengalami kenaikan harga.
Akibatnya, masyarakat menengah ke bawah yang sudah terbebani oleh inflasi akan semakin tertekan.
2. Kontradiksi dengan Narasi Pemerintah
Narasi awal pemerintah menyebutkan bahwa kenaikan PPN hanya akan berlaku untuk barang dan jasa premium. Namun, implementasi kebijakan ini justru menunjukkan sebaliknya.
Barang-barang seperti bahan pangan premium, langganan digital, hingga suku cadang kendaraan terkena dampak. Pertanyaan muncul: apakah barang-barang ini layak dianggap sebagai barang mewah?
Kebijakan ini tampak kurang konsisten dengan janji pemerintah sebelumnya.
3. Dampak Berantai pada Ekonomi
Kenaikan PPN dapat memicu efek domino pada harga barang dan jasa lainnya. Produsen yang harus membayar pajak lebih tinggi kemungkinan besar akan membebankan biaya tambahan ini kepada konsumen.
Baca juga: Daftar Kebutuhan Sehari-hari Terdampak PPN 12 Persen
Dalam jangka panjang, daya beli masyarakat akan menurun, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
4. Tidak Sensitif Terhadap Ketimpangan
Kebijakan PPN 12 persen cenderung bersifat regresif, artinya beban pajak ini lebih berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya.
Sebagai contoh, keluarga dengan penghasilan kecil tetap harus mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan dasar yang terkena pajak.
Sementara itu, kelompok kaya yang memiliki pengeluaran lebih besar untuk barang-barang mewah hanya sedikit terdampak oleh kenaikan ini.
5. Waktu Pelaksanaan yang Tidak Tepat
Kenaikan PPN ini diumumkan di tengah situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi dan ketidakpastian ekonomi.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut PPN 12% Lebih Rendah dari Negara Lain, Ini Daftar PPN di Asia
Dengan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya kembali normal, menaikkan tarif pajak pada saat ini hanya akan memperburuk kondisi.
Kebijakan ini berisiko memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.