jurnalistika.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia yang naik menjadi 12% per 1 Januari 2025 masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain, baik di kawasan Asia maupun anggota G20.
Namun, pernyataan ini menarik untuk dikritisi lebih dalam. Apakah benar tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain? Dan, apakah perbandingan tarif ini mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya? Mari membahasnya lebih lanjut.
PPN di Eropa: Tinggi Namun Seimbang dengan Kesejahteraan
Beberapa negara di Eropa memang menetapkan tarif PPN yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebut saja:
- Hungaria: 27%
- Swedia, Denmark, Norwegia, Kroasia, dan Kepulauan Faroe: 25%
- Yunani, Islandia: 24%
- Polandia, Portugal: 23%
Tarif yang tinggi ini sejalan dengan pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih baik.
Negara-negara seperti Swedia dan Denmark dikenal dengan sistem kesejahteraan sosial yang kuat, seperti akses kesehatan gratis, pendidikan berkualitas, dan berbagai subsidi.
Baca juga: Soal Kenaikan PPN 12%, DPR Minta Pemerintah Transparan Soal Dampak
Hal ini dimungkinkan karena tarif pajak yang tinggi digunakan secara efektif untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Bahkan di Denmark misalnya, orang yang tinggal sementara waktu di bisa mendapatkan perawatan gratis. Seperti dilansir dari Danish Health Authority, mengatakan:
“Seseorang yang tinggal di Denmark berhak atas perawatan rumah sakit gratis. Seseorang yang tinggal di Denmark untuk sementara waktu, yaitu tanpa memiliki tempat tinggal di Denmark, dapat menerima perawatan rumah sakit akut dan berkelanjutan, tetapi pembayaran umumnya dibebankan untuk layanan ini kecuali orang tersebut memiliki dokumentasi yang disetujui untuk hak atas perawatan rumah sakit gratis. Wilayah tersebut dapat menyediakan perawatan rumah sakit akut dan berkelanjutan secara gratis jika, sebagai pengecualian, dalam keadaan tertentu, wilayah tersebut menganggapnya wajar.”
Selain itu, pendapatan masyarakat di negara-negara tersebut juga cenderung tinggi. Berdasarkan data OECD, rata-rata pendapatan tahunan di Swedia mencapai US$58.000 (sekitar Rp920 juta). Sedangkan di Denmark mencapai US$61.000 (sekitar Rp968 juta).
Jika dibandingkan dengan Indonesia, pendapatan per kapita tahunan hanya berkisar US$4.800 (sekitar Rp76 juta). Perbedaan ini mencerminkan daya beli dan kapasitas ekonomi yang jauh berbeda.
Perbandingan Tarif PPN di Asia
Jika kita bergeser ke kawasan Asia, tarif PPN di negara-negara tetangga Indonesia terlihat lebih bervariasi:
- Singapura: 9% (akan berlaku pada 2024)
- Malaysia: Pajak penjualan 10% dan pajak layanan 8%
- Thailand: 7%
- Vietnam: 10%
- Filipina: 12%
- Brunei Darussalam: 0%
Dengan tarif PPN 12%, Indonesia akan sejajar dengan Filipina, namun lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Thailand.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Singapura dan Malaysia memiliki sistem perpajakan yang lebih sederhana dan transparan, serta pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi.
Rata-rata pendapatan per kapita Singapura, misalnya, mencapai US$82.000 (sekitar Rp1,3 miliar), sementara Malaysia mencapai US$11.000 (sekitar Rp175 juta).
Memang kalau menelan mentah-mentah ucapan Menteri Keuangan soal kenaikan PPN 12 persen masih lebih rendah daripada negara lain, bisa saja betul. Banyak negara asia yang nilainya lebih tinggi, sepeti:
- Azerbaijan 18%
- India 18%
- North Korea 15%
- Saudi Arabia 15%
- Turkmenistan 15%
- Uzbekistan 15% (data tradingeconomics.com per desember 2024)
Namun, membandingkan begitu saja tidak cukup. Karena perlu dilihat dari unsur ekonomi masyarakat di negara-negara tersebut, serta pendapatan per kapita tahunan yang tergolong lebih tinggi dari Indonesia.
Kondisi Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat
Salah satu aspek yang sering diabaikan ketika membandingkan tarif PPN adalah kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Negara-negara dengan tarif PPN tinggi umumnya memiliki:
- Pendapatan per kapita yang tinggi, sehingga kenaikan pajak tidak terlalu membebani masyarakat.
- Layanan publik yang berkualitas, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi yang dibiayai dari pajak.
- Tingkat kemiskinan yang rendah.
Sebagai perbandingan, mari kita lihat data berikut:
- Persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 9,5% (BPS 2023), jauh lebih tinggi dibandingkan Swedia (0,7%) dan Singapura (3,5%).
- Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih berada di angka 72,9 (kategori menengah), sementara Swedia dan Singapura sudah melampaui 90.
Artinya, tarif PPN 12% mungkin terlihat rendah di atas kertas jika dibandingkan dengan negara maju, namun menjadi signifikan jika dilihat dari daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Kritik terhadap Kebijakan Kenaikan PPN
Kenaikan PPN 12% perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Beberapa kritik yang patut dipertimbangkan adalah:
- Beban bagi Masyarakat Menengah ke Bawah: Tarif PPN yang tinggi akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, yang pada akhirnya memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.
- Keterbatasan Layanan Publik: Jika dibandingkan dengan negara-negara dengan tarif PPN tinggi, layanan publik di Indonesia masih jauh dari memadai. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur masih belum sepenuhnya merata.
- Kualitas Pengelolaan Pajak: Transparansi dan efektivitas pengelolaan pajak di Indonesia masih menjadi sorotan. Penyelewengan anggaran dan rendahnya tingkat pengembalian pajak (tax return) menjadi masalah yang perlu diatasi sebelum menaikkan tarif pajak.
Pernyataan Sri Mulyani bahwa tarif PPN 12% di Indonesia masih tergolong rendah memang benar jika dibandingkan dengan beberapa negara maju seperti Hungaria dan Swedia.
Namun, perbandingan ini tidak sepenuhnya tepat tanpa melihat kondisi ekonomi, kesejahteraan, dan pendapatan masyarakat di masing-masing negara.
Baca juga: PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai 2025, Ini Daftar yang Kena dan Tidak
Dengan daya beli masyarakat yang masih rendah, layanan publik yang belum merata, dan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, kenaikan tarif PPN perlu diimbangi dengan peningkatan transparansi pengelolaan pajak serta optimalisasi penggunaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Jika tidak, kebijakan ini justru akan memperdalam ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini