Jurnalistika
Loading...

Hutang Indonesia Tembus 7.000 Triliun, Bagaimana Selanjutnya?

  • Jurnalistika

    01 Apr 2022 | 11:44 WIB

    Bagikan:

image

Ajib Hamdani (Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia)

jurnalistika.id – Kementerian Keuangan pada Tanggal 30 Maret 2022 mengumumkan, per akhir Februari 2022 posisi hutang pemerintah sebesar 7.014,58 triliun atau setara 40,17% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sampai dengan akhir tahun 2022, hutang ini akan terus mengalami kenaikan, karena struktur APBN 2022 diproyeksikan mengalami defisit 868 triliun.

Ada dua masalah utama yang masih perlu dicermati oleh pemerintah, agar keuangan negara tetap sehat dan managable.

Pertama adalah isu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang masih menimbulkan polemik, terutama masalah pendanaan. Dengan kebutuhan dana sekitar 466 triliun, pemerintah harus berhitung ulang ketika anchor investor yang tadinya diemban oleh SoftBank kemudian mengundurkan diri.

Ada beberapa alternatif pembiayaan, apapun itu bisa menjadi jalan keluar. Tapi yang penting adalah jangan kembali membiayai APBN. Karena ini akan bisa menimbulkan debt overhang.

Seperti halnya kita belajar dari perencanaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang membengkak dari sekitar 86,67 triliun menjadi 114,24 triliun, dan dijamin oleh pemerintah dengan infrastruktur APBN.

Permasalahan jangka pendek kedua adalah potensi inflasi tinggi yang memberikan tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Pemerintah mempunyai proyeksi, inflasi secara agregat hanya kisaran 3% pada akhir tahun 2022.

Hal ini didorong dengan membaiknya penanganan kesehatan, sehingga pandemi menuju endemi. Tetapi, faktor supply dan demand sedang terganggu dan beberapa komoditas strategis menghadapi lonjakan harga, misalnya minyak goreng, BBM, kedelai, dll. Hal ini dikhawatirkan, akan memberikan multiplier effect terhadap kenaikan harga-harga barang yang menjadi produk turunannya.

Resiko ketika inflasi tinggi, adalah daya beli masyarakat berkurang, ekonomi tidak bisa tumbuh sesuai harapan, target pajak tidak akan tercapai, dan negara kembali membutuhkan eskalasi hutang negara untuk menutup defisit anggaran.

Di sisi lain, pemerintah sedang mempunyai instrumen untuk menambal potensi defisit yang melebar, dengan menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, sesuai dengan amanah Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dengan asumsi kebijakan kenaikan tarif ini dilaksanakan Tanggal 1 April 2022, pemerintah bisa mengumpulkan penerimaan PPN sekitar 41 triliun tambahan, sampai akhir 2022. Agar penerimaan pajak ini lebih sustain ke depannya, pemerintah harus melakukan ekstensifikasi wajib pajak, yang didukung oleh data yang valid dan terintegrasi.

Inilah yang masih menjadi PR buat pemerintah. Karena ketika hanya mengandalkan intensifikasi atau menaikkan tarif, pemerintah hanya cenderung “berburu di kebun binatang”.

Bagaimana selanjutnya dengan hutang yang sudah ada dan pengelolaan yang ideal?

Dua hal yang perlu dicermati dengan baik. Pertama, hutang harus bisa memberikan kontribusi secara langsung dan maksimal (maximum productivity) terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena dari pertumbuhan ekonomi inilah, pada muaranya akan ada penerimaan negara dalam bentuk pajak. Dan struktur APBN Indonesia secara signifikan ditopang oleh pajak ini.

Kemampuan membayar pemerintah atas hutang, sangat tergantung dengan seberapa banyak pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang produktif, kemudian bisa menarik pajak yang maksimal. Cerminan ini dalam angka tax ratio, penerimaan pajak dibandingkan dengan PDB.

Contoh kasus tentang pembangunan IKN, harus diperhitungkan secara kritis ketika akan dibiayai oleh APBN, apakah akan akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak.

Indikator kedua untuk menjadi pertimbangan adalah apakah hutang Indonesia ini bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang berkelanjutan. Analisa ini bisa diukur dari debt to service ratio (DSR). DSR ini merujuk pada jumlah cicilan pokok hutang luar negeri dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan pendapatan ekspor. Tahun 2021 menunjukkan data DSR Indonesia sebesar 41,4%, dengan yield yang relatif tinggi 6,74%.

Dengan hutang yang ada, bagaimana selanjutnya? Pemerintah harus berkomitmen mengelola keuangan negara secara transparan, akuntabel, produktif dan pro dengan rakyat. Karena, seluruh beban hutang ini, akan menjadi tanggung jawab yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia di masa depan.

Jakarta, 1 April 2022
Ajib Hamdani (Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia)

Ajib Hamdani

Ekonomi Indonesia


Populer

5 Fakta Soal Insiden Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami