jurnalistika.id – Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah dikeluarkan dan mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 2021.
Beleid tersebut mengatur antara lain tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang tertuang dalam pasal 7. Tarif PPN yang semula 10% mengalami kenaikan menjadi 11% dan mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022.
Mendekati masa berlakunya kebijakan tersebut, Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani menyampaikan beberapa catatan yang perlu menjadi pertimbangan agar regulasi yang dikeluarkan bisa tetap memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia.
Pada dasarnya, pajak mempunyai 2 fungsi utama, yaitu sebagai instrumen budgeteir yaitu pajak mempunyai fungsi mengumpulkan uang buat pundi-pundi negara. Kedua instrumen reguleren, yaitu untuk membuat keseimbangan dan pengatur ekonomi masyarakat.
Kedua fungsi pajak ini, dalam satu kondisi yang sama, bisa bersifat kontradiktif, dan pemerintah harus mempunyai kebijakan sebagai dasar untuk membuat regulasi yang presisi.
Baca juga: Komitmen Pemerintah Menjawab Tantangan Fiskal 2022
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 telah didesain untuk belanja sebesar 2.714,2 triliun, dengan potensi penerimaan pajak sebesar 1.265 triliun.
Dengan instrumen UU Nomor 2 tahun 2020, Pemerintah masih mempunyai kesempatan untuk membuat defisit APBN tahun 2022 ini melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Melalui instrumen ini, pemerintah mempunyai keleluasaan untuk mendesain defisit APBN 2022 ini sebesar 868 triliun, atau setara 4,85% PDB.
Oleh karena itu, dengan struktur yang ada, kebijakan kenaikan tarif PPN ini diharapkan bisa menambal defisit yang ada. Penerimaan PPN sepanjang tahun 2021 sebesar 551 triliun.
Dengan asumsi tarif PPN mengalami penyesuaian menjadi 11% dan bisa diberlakukan pada 1 April nanti, maka potensi pundi-pundi kas negara bisa bertambah kisaran 41 triliun.
Angka potensi ini didapat dari kenaikan selisih 10% selama 9 bulan, asumsi secara ekonomi barang dan jasa kena pajak ceteris paribus sesuai kondisi tahun 2021. Angka yang sangat signifikan dalam menambah arus kas masuk.
Pertimbangan kedua untuk melanjutkan kenaikan tarif ini, adalah keberlanjutan regulasi dan kepastian hukum, karena sejak awal UU HPP ini ditetapkan pada tahun 2021, sudah dihitung secara seksama, tentang waktu pelaksanaan penyesuaian tarif PPN ini, yaitu 1 April 2022.
Tetapi, secara kontradiktif, pajak juga mempunyai fungsi reguleren, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif dan berkelanjutan.
Ada 2 hal yang menjadi pertimbangan, pasal kenaikan tarif PPN ini untuk dilakukan penyesuaian waktu, atau ditunda.
Pertimbangan pertama, pemerintah secara agresif juga membuat target pertumbuhan ekonomi secara agregat tumbuh 5,2%. Sedangkan penopang lebih dari 57% PDB adalah sektor konsumsi.
PPN ini adalah jenis pajak yang pembebanannya ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir. Sehingga akan memberikan tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat.
Dalam masa peralihan pandemi menuju endemi seperti sekarang, sedang dibutuhkan semua instrumen pemerintah untuk terus memberikan dukungan iklim ekosistem ekonomi yang positif. Menaikkan tarif PPN dalam momentum sekarang, menjadi pilihan yang cenderung kurang pas.
Baca juga: Cukai Rokok Naik, Ajib Hamdani Dorong Pemerintah Beri Petani Insentif
Pertimbangan kedua adalah adanya potensi inflasi. Pemerintah membuat target inflasi hanya di angka 3%. Dalam perkembangan ekonomi terakhir, terjadi ketidakseimbangan supply dan demand untuk beberapa komoditas, yang secara psikologis akan memberikan dampak kenaikan harga. Ekonomi sedang membentuk pola yang baru.
Dalam momentum ini, dibutuhkan stabilitas regulasi, sehingga ekonomi bisa berjalan dengan baik. Secara kuantitatif, dengan tambahan tarif PPN menjadi 11%, inflasi bisa bertambah 0,4% secara agregat di akhir 2022.
Dengan kondisi yang ada, menjadi keputusan yang tidak mudah, apakah Kenaikan Tarif PPN sesuai UU HPP ini akan dilanjutkan pada tanggal 1 April ini, atau ditunda.
Keputusan ada di tangan pemerintah. Kita sebagai warga negara, sekaligus pembayar pajak, akan menunggu aspek mana yang akan menjadi prioritas.
*Ajib Hamdani (Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia) Jakarta, 16 Maret 2022.