Jurnalistika
Loading...

Ketua PB STII Soal Pangan: Dulu Jadi Guru, Kini Jadi Muridpun Tidak

  • Ratu Masrana

    27 Des 2021 | 19:15 WIB

    Bagikan:

image

Foto: Hamparan sawah di Desa Sundawenang, Kabupaten Sukabumi (Dok. jurnalistika/firman)

jurnalistika.id – Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Tani Islam Indonesia (PB STII), Fathurrahman Mahfudz mengatakan, sebelum reformasi, Indonesia pernah mencapai titik Swasembada pangan. Saat itu Indonesia tidak lagi impor beras.

“Sayangnya setelah reformasi, infrastruktur tata kelola pertanian kita belum selesai. Hingga kini, kita masih impor beras dari Thailand dan Vietnam,” ujar Fathur saat berbagi seputar ketahanan pangan, via zoom, kepada Jurnalistika, Selasa (21/12/21).

ketua STII soal swasembada pangan
Foto: Ketua Ketua PB STII, Fathurrahman Mahfudz (Dok/jurnalistika/Ratu)

Ia menjelaskan bahwa untuk komoditas gandum saja kita masih impor. Begitu pula garam dan bawang putih.

“Untuk bawang putih saja kita masih impor hingga 90 persen dari total yang kita butuhkan,” ujarnya.

“Perjalanan swasembada pangan ini masih banyak PRnya. Puluhan komoditas kita masih impor dari luar. Peningkatan pertanian kita pasca reformasi tidak mengalami kenaikan yang signifikan,” lanjutnya.

Padahal, Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Tak hanya itu, tanahnya juga subur.

Mungkin yang lahir di era tahun 80an, hapal lirik lagu Koes Plus ini, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman.”

Ini menunjukkan betapa ajaibnya kondisi negara kita, dengan dua iklim yang hanya hujan dan kemarau. Ini membuat pertanian kita tidak mendapat cobaan yang lebih berat dari negara-negara yang memiliki empat musim.

Urun Rembuk Untuk Memajukan Pangan

“Dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 300 juta jiwa ini masa ngga ada kader bangsa yang bisa urun rembuk terkait memajukan pangan,” ungkapnya.

Pemilik motto “Hidup sekali hiduplah yang berarti” ini menegaskan bahwa ia bukan anti impor. Di era ini semua negara saling terkoneksi dan keterhubungan satu dengan yang lainnya adalah keniscayaan.

“Namun demikian, undang-undang negara jelas menyebutkan bagaimana bangsa mengerahkan daya dan upaya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Mestinya dengan APBN yang ada, juga sumber daya alam, kita bisa menyelesaikan persoalan pangan,” ujarnya bersemangat.

Ironisnya, Malaysia dan Vietnam yang pada tahun 1960 belajar kepada Indonesia seputar pertanian – sang murid, kini menjadi negara pengeskpor beras untuk Indonesia – sang guru.

Negara-negara tersebut bisa maju di sektor pangannya karena pemerintahnya serius mengembangkan riset teknologi pertanian mereka.

“Saya ngga bermaksud menyalahkan pemerintah terkait ketahanan pangan kita tapi inilah peta dunia pertanian kita hari ini,” tegas kandidat Master Bisnis Manajemen ini.

Membantu Petani, Meningkatkan Hasil Pertanian

Kepada Jurnalistika, penyuka warna putih ini mengatakan bahwa selama 11 tahun ini ia fokus membantu para petani mendapatkan hasil panen yang lebih baik.

Bersama dengan kawannya, Prof. Ali Zum Mashar – penemu padi Trisakti dan Mikroba Google, terjun ke lapangan menjadi sahabat para petani. Menaikkan semangat dan optimis mereka dengan hasil penemuan ini.

“Dengan padi Trisakti, 1 hektar lahan sawah bisa menghasilkan 12,5 ton seperti yang sudah kita buktikan di Papua. Bisa 2 kali panen dengan bibit padi yang tahan terhadap hama. Tentu saja ini nguntungin petani karena biasanya 1 hektar hanya bisa panen 3 – 4 ton saja. Para petani bisa memperoleh kehidupan yang sejahtera dari hasil panen mereka,” paparnya.

Selama ini mereka ‘ngga balik modal’ karena hasil panen yang dihasilkan tidak cukup untuk membayar hutang modal yang ia perlukan.

Misalkan untuk modal tanam saja 15 juta. Hasil dari panen 3 ton kali 4000 rupiah per kilonya. Maka, hasilnya minus.

“Untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia, diperlukan 10 juta hektar sawah. Namun dengan padi Trisakti juga Mikroba Google untuk menyuburkan tanah, hanya diperlukan lahan sawah seluas 500 ribu hektar saja,” imbuhnya.

Dengan penemuan ini, tidak perlu adanya buka lahan baru. Hal ini malah menguntungkan karena tidak merusak ekosistem hutan. Membuka lahan secara besar-besaran juga mengganggu keseimbangan hutan yang selama ini terjaga kelestariannya – paru-paru dunia.

Pertanian Berbasis Korporasi

Saat ini para petani di lapangan sulit mengakses bantuan dana juga pupuk yang disediakan pemerintah. Belum lagi sistem bankable yang tidak terlalu bersahabat dengan petani.

Pemilik tokoh favorit Dato Seri Anwar Ibrahim ini menghimbau agar pemerintah memberi dukungan output – garansi membeli hasil panen dari para petani. Menurutnya ini lebih baik dari dukungan input – subsidi pupuk seperti yang selama ini terjadi.

Menurut data, setiap tahun sekitar 600 ribu hektar lahan sawah yang berkurang karena beralih fungsi menjadi pabrik, perumahan atau properti lainnya.

Rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya ketahanan juga berimbas pada generasi milenial yang kurang melirik sektor pertanian.

Baca juga: 4 Perbedaan Tanaman Porang Dengan Umbi-Umbian Lainnya

Padahal, jika dikelola dengan baik – pertanian berbasis korporasi, sektor ini tak hanya bisa menjadi bisnis yang menggiurkan tapi juga terpenuhinya ketahanan pangan.

Selama ini, masyarakat kita mengelola pertanian dengan manajemen seadanya. Tidak adanya pembukuan, tanpa teknologi dan masih tradisional.

Jika kondisi ini bisa diperbaiki, Indonesia bisa mencapai kedaulatan pangan atau swasembada pangan.

“Ketahanan pangan termasuk salah satu unsur ketahanan negara. Oleh karena itu, saya menghimbau agar seluruh pihak bersama-sama dengan pemerintah untuk meningkatkan hasil pertanian,” pungkasnya.

ketahanan pangan

PB STII

Pertanian

Petani

Serikat Tani Islam Indonesia

swasembada pangan


Populer

5 Fakta Soal Insiden Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami