jurnalistika.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia yang akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 masih tergolong rendah dibandingkan negara lain.
Tapi benarkah demikian? Simak daftar lengkap tarif PPN di negara-negara Asia biar lebih jelas!
Daftar PPN di Asia: Negara Mana yang Paling Tinggi?
Dilansir dari tradingeconomics.com pada Selasa (17/12/2024), berikut daftar lengkap tarif PPN di negara-negara Asia yang bisa kamu jadikan bahan perbandingan:
- Afghanistan: 10%
- Armenia: 20%
- Azerbaijan: 18%
- Bahrain: 10%
- Bangladesh: 15%
- Bhutan: 50% (tertinggi di Asia!)
- Kamboja: 10%
- China: 13%
- Georgia: 18%
- India: 18%
- Iran: 9%
- Israel: 17%
- Jepang: 10%
- Yordania: 16%
- Kazakhstan: 12%
- Kyrgyzstan: 12%
- Laos: 10%
- Lebanon: 11%
- Malaysia: 10%
- Mongolia: 10%
- Myanmar: 5%
- Nepal: 13%
- Korea Utara: 15%
- Oman: 5%
- Pakistan: 17%
- Filipina: 12%
- Arab Saudi: 15%
- Singapura: 7%
- Korea Selatan: 10%
- Sri Lanka: 15%
- Taiwan: 5%
- Tajikistan: 15%
- Thailand: 7%
- Turkmenistan: 15%
- Uni Emirat Arab: 5%
- Uzbekistan: 15%
- Vietnam: 10%
Melihat Posisi Indonesia dalam Daftar PPN Asia
Saat ini, tarif PPN di Indonesia masih di angka 11% dan akan naik menjadi 12% pada tahun 2025.
Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, tarif PPN Indonesia bisa dikatakan berada di tengah-tengah.
Baca juga: Benarkah PPN 12% Lebih Rendah dari Negara Lain Sepeti Kata Sri Mulyani?
Beberapa negara seperti Bhutan memiliki tarif yang sangat tinggi (50%). Sementara Myanmar, Oman, Taiwan, dan Uni Emirat Arab menetapkan tarif PPN hanya 5%.
Perbandingan dengan Negara ASEAN
Biar lebih jelas, bila dikerucutkan ke negara-negara tetangga di ASEAN maka dapat dilihat sebagai berikut.
- Filipina: 12% (sama seperti Indonesia di 2025)
- Kamboja: 10%
- Laos: 10%
- Vietnam: 10%
- Malaysia: 10% (pajak penjualan) dan 8% (pajak layanan)
- Singapura: 7% (akan naik menjadi 9% di 2024)
- Thailand: 7%
- Brunei Darussalam: 0%
- Timor-Leste: 0% (pajak penjualan hanya untuk barang impor 2,5%)
- Myanmar: 5% (pajak komersial)
Dari sini terlihat bahwa tarif PPN 12% di Indonesia akan menjadi salah satu yang tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina. Namun jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura (7%) dan Thailand (7%).
Kenapa Tarif PPN di Beberapa Negara Rendah?
Tarif PPN yang rendah di negara-negara seperti Brunei, Myanmar, dan Oman biasanya disebabkan oleh beberapa faktor:
- Sumber Pendapatan Negara Lain: Negara-negara ini memiliki sumber pendapatan lain yang dominan, seperti minyak dan gas.
- Populasi Kecil: Negara-negara ini cenderung memiliki populasi yang kecil sehingga kebutuhan fiskal lebih rendah.
- Kebijakan Pajak yang Ramah Investasi: Tarif pajak rendah diterapkan untuk menarik investor asing dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Apakah Tarif PPN yang Tinggi Selalu Buruk?
Nggak selalu! Negara-negara seperti Jepang (10%), China (13%), dan Korea Selatan (10%) menetapkan tarif PPN yang moderat. Namun, di balik itu, mereka memiliki layanan publik yang berkualitas, seperti:
- Transportasi publik yang memadai
- Layanan kesehatan murah atau gratis
- Pendidikan berkualitas dengan subsidi besar
Ini yang masih jadi tantangan di Indonesia. Tarif PPN yang tinggi idealnya diimbangi dengan peningkatan layanan publik agar masyarakat merasa pajak yang mereka bayar kembali dalam bentuk kesejahteraan.
Jadi, pernyataan Sri Mulyani bahwa tarif PPN Indonesia 12% masih rendah bisa dibilang “benar secara angka” jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Bhutan (50%) atau Armenia (20%) dan Arab Saudi (15%).
Namun, jika melihat negara-negara tetangga di ASEAN, Indonesia justru berada di posisi yang cukup tinggi.
Baca juga: Soal Kenaikan PPN 12%, DPR Minta Pemerintah Transparan Soal Dampak
Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi pemerintah. Jika tarif PPN naik, harapannya layanan publik dan kesejahteraan masyarakat juga ikut naik.
Dengan begitu, masyarakat bisa melihat manfaat nyata dari pajak yang mereka bayar.
Jadi, menurut kamu, tarif PPN 12% ini memberatkan atau justru wajar?
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini