Jurnalistika
Loading...

JOKER: SANG AGEN KEKACAUAN, ANTI FILOSOFI

  • Jurnalistika

    21 Apr 2025 | 15:05 WIB

    Bagikan:

image

Karakter Joker dalam film Batman: The Dark Knight. (Dok. IMDb)

jurnalistika.id – Membahas Joker tidak akan pernah ada habisnya bagi mereka para pecinta film dan segala makna yang coba disampaikan di dalamnya. Kisah yang sudah berulang kali diadaptasi dalam sebuah karya layar lebar sampai saat ini.

“I’m not a monster. I’m just ahead of the curve (Saya bukan monster. Saya hanya lebih maju dari yang lain).

Kutipan itu bukan sekadar ucapan villain dalam film pahlawan super, melainkan jeritan batin dari seorang tokoh yang tak lagi percaya pada kebaikan dunia.

Joker, si badut muram dari The Dark Knight (2008) lebih adil apabila dipandang lebih dari sekedar tokoh antagonis. Sebab, ia adalah cermin retak dari jiwa manusia yang kehilangan arah.

Baca juga: Hidup Ala Joker (2019): Antara Tragedi dan Komedi

Joker bukan orang yang anti terhadap pahlawan, namun sosoknya anti-filosofi. Ia bukan pembawa pesan, ia adalah kehampaan itu sendiri yang menari di atas reruntuhan makna.

Ketika penonton menyaksikan Joker membakar uang hasil rampokan, meledakkan rumah sakit, atau menempatkan warga Gotham dalam dilema moral di atas dua kapal, yang sedang ditampilkan bukanlah aksi, tapi tesis.

Sebuah tesis gelap tentang nihilisme, keyakinan bahwa tak ada makna inheren dalam hidup, bahwa moralitas adalah lelucon buruk, dan bahwa semua orang hanyalah binatang berseragam.

Chaos sebagai Dosa Asli

Jika dalam teologi Kristen ada yang dikenal sebagai dosa asal sebagai sebab pertama kerusakan manusia, maka dalam dunia Joker, chaos adalah dosa aslinya.

Cuman, bukan chaos sebagai kekacauan sementara, melainkan sebagai fondasi eksistensial. Joker tak sekadar meyakini bahwa dunia kacau, ia percaya dunia pantas kacau.

Lebih dari itu, ia merasa terpanggil untuk menyadarkan orang akan kekacauan yang selama ini mereka tutupi dengan ilusi hukum, moral, atau agama.

See, their morals, their ‘code’… it’s a bad joke, (Lihat, moral mereka, ‘kode’ mereka… itu adalah lelucon yang buruk,)” ujarnya dengan seringai bengis.

Dropped at the first sign of trouble (Dijatuhkan pada tanda pertama masalah).”

Baca juga: 10 Bioskop di Tangsel untuk Nonton Film Pengepungan di Bukit Duri Joko Anwar

Ungkapan itu merupakan sindiran terhadap masyarakat Gotham, sekaligus pukulan keras terhadap kontrak sosial manusia.

Joker, seperti yang disampaikan Alfred Pennyworth, tidak bisa dibujuk, dibeli, atau dinegosiasikan.

Some men just want to watch the world burn (Beberapa pria hanya ingin melihat dunia terbakar).” Dan justru dalam pembakaran itulah, Joker menemukan kebebasan mutlaknya.

Joker dan Nihilisme yang Tersenyum

Dalam filsafat, nihilisme memang sering diartikan sebagai ketiadaan makna. Namun, pengertian tersebut tidak cukup, pikiran itu adalah respons terhadap runtuhnya sistem nilai.

Nietzsche, sang bapak nihilisme modern, pernah menulis: “God is dead. We have killed him (Tuhan sudah mati. Kita telah membunuhnya).”

Namun setelah membunuh Tuhan, Nietzsche tetap menawarkan sesuatu yang disebut sang Overman, manusia yang menciptakan nilai sendiri. Tapi Joker? Ia bahkan menertawakan kemungkinan itu.

Joker bukan Nietzsche yang lelah dengan moral lama tapi masih ingin membangun yang baru. Ia lebih dekat dengan Antonin Artaud, si penyair kegilaan yang menyebut dunia ini sebagai panggung teater kejam.

Baca juga: 7 Film Hot Filipina Terbaru 2025, Khusus 21 Plus

Joker adalah aktor utama dalam drama absurditas ini, di mana segala yang suci sudah lama dibakar. Satu hal yang membuat Joker lebih menakutkan dari nihilist akademik adalah ia tidak pasrah, melainkan bertindak.

Ia adalah nihilist aktif, yang tidak hanya menyadari dunia kosong, tapi juga berusaha membuat orang lain merasakan kekosongan itu. Bahkan Harvey Dent, sang “White Knight” Gotham, pun dijatuhkan ke dalam lubang hitam kekacauan.

Sang Anti-Filsuf: Di Luar Kerangka Nalar

Joker bukan filsuf, tapi anti-filsuf. Dirinya menolak semua aliran pemikiran, bukan karena ia belum membaca, tapi karena ia sudah membaca semuanya dan menertawakannya.

Sang agen kekacauan tidak menyusun manifesto. Ia tidak membangun argumen. Ia hanya melakukan. “I just do things,” katanya. Filosofi? Terlalu lambat untuk ledakan yang ia rancang.

Di satu sisi, Joker seperti manifestasi ekstrem dari pemikiran eksistensialis Jean-Paul Sartre, manusia dilempar ke dunia tanpa instruksi, dan bebas menciptakan maknanya sendiri.

Ketika di tangan Joker, kebebasan itu menjadi hukuman. Jika Sartre percaya eksistensi mendahului esensi, Joker percaya esensi tak pernah ada sama sekali.

Batman Hadir Sebagai Penjaga Ilusi

Dalam semesta Joker, Batman bukan sekadar musuh. Ia adalah simbol harapan yang naif. Sosok yang masih percaya akan ketertiban, hukum, dan moralitas.

Dalam setiap interaksi mereka, terasa seperti dialog antara dua sisi jiwa manusia. Satu yang ingin memperbaiki dunia, dan satu lagi yang sudah berhenti peduli.

Batman tidak membunuh Joker bukan karena kelemahan moral, tapi karena ia tahu, jika ia membunuh Joker, ia akan membunuh bagian dari dirinya sendiri yang takut pada kekacauan.

Mereka adalah dua kutub eksistensi, keteraturan melawan kehampaan, logos melawan absurditas.

Baca juga: Adegan Pabrik Gula 1 Menit Viral di TikTok, Jadi Film Horor Indonesia Terpopuler 2025

Mengapa banyak yang begitu terpesona pada Joker? Mungkin karena di balik topeng badutnya ditemukan sesuatu yang familiar.

Ketakutan manusia pada umumnya akan hidup yang tak berarti. Ketakutan bahwa apa pun yang dibangun, baik karier, reputasi, dan cinta, semua bisa dihancurkan hanya dengan satu hari buruk.

Joker adalah cermin retak, memperlihatkan sisi tergelap dari kemanusiaan kita.

Kata John Duran, “Both Insanity and Wisdom knows no race, creed, allegiance or country (Baik Kegilaan maupun Kebijaksanaan tidak mengenal ras, kepercayaan, kesetiaan atau negara).

Joker adalah gila sekaligus bijak, suci sekaligus setan. Ia tidak membedakan siapa korbannya karena dalam pandangannya, semua manusia sama, boneka yang tertawa karena tidak tahu bahwa dunia sudah terbakar.

Joker tidak menawarkan solusi. Ia menawarkan tawa. Tapi tawa yang getir, seperti bunyi kaca pecah di malam yang sepi. Tawa yang muncul saat tak ada lagi yang bisa dikatakan.

Di tengah dunia yang terus mencoba memberi makna pada segala sesuatu, agama, politik, cinta, Joker datang dan bertanya: “Lalu jika semua itu hanya ilusi, apa yang tersisa?”

Lewat pertanyaan itulah, mulai terdengar suara tawa, perlahan, lalu keras, lalu menggema di dalam kepala sendiri. Sebab mungkin, yang paling mengerikan dari Joker bukan aksinya. Tapi kesadarannya. Bahwa ia, mungkin, benar.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini


Referensi:

  • philosocom.com
  • dominicanajournal.org

Joker

review film

ulasan film