Jurnalistika.id – Hari ini, Rabu (16/11) Google menjadikan Angklung, alat musik tradisional masyarakat Sunda menjadi Doodle. Google menampilkan alat musik yang terbuat dari bambu itu sebagai Doodle lantaran hari ini bertepatan dengan Unesco menetapkan Angklung sebagai salah satu Warisan Dunia pada 16 November 2012.
Mengenal Angklung, Alat Musik Tradisional yang Tampil di Google Doodle
Angklung merupakan alat musik tradisional yang memiliki nada ganda atau multitonal. Alat musik ini berkembang di masyarakat Sunda (Jawa Barat dan Banten) yang terbuat dari bambu.
Untuk menghasilkan bunyi, pemain harus menggoyangkan angklung sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar karena benturan tabung-tabung bambu.
Angklung biasanya terdiri dari dua tabung atau lebih dan sebuah alas. Pengrajin ahli memotong bambu menjadi tabung dengan ukuran berbeda, yang menentukan nada angklung.
Asal Usul Angklung
Menurut Dr. Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu.
Melansir Wikipedia, Catatan mengenai angklung merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu seperti angklung berdasar pada pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (paré) sebagai makanan pokoknya.
Pandangan hidup ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Badui di Kanekes, Banten yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menjadikan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi.
Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Penduduk desa percaya bahwa suara bambu dapat menarik perhatian Déwi Sri, dewi padi dan kemakmuran.
Selama musim panen, mereka mengadakan upacara dan memainkan angklung dengan harapan dewa akan memberkati mereka dengan tanaman yang subur.
Terbuat dari Bambu
Utamanya, pengrajin atau ahli menggunakan Bambu Hitam (Awi Hideung) dan bambu ater (awi temen), sebagai dasar untuk membuat Angklung.
Perjalanan Angklung
Sejak masa kerajaan Sunda, nada dari angklung menjadi penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung.
Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatra. Pada 1908, tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai dengan penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Alat musik ini masih menjadi pokok budaya Indonesia dan seringkali pemerintah menyelenggarakan pertunjukan angklung untuk menyambut tamu terhormat di Istana Kepresidenan.
Suara angklung yang menggembirakan terdengar di ruang kelas di seluruh dunia. Ini adalah cara yang bagus bagi guru untuk memperkenalkan musik dan budaya Indonesia.
Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Sebagai bentuk pengakuan alat musik Indonesia, Angklung telah terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari UNESCO sejak November 2010.
Jenis-jenis Angklung
Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain : Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.
Baca berita lainnya di Google News, klik di sini.