jurnalistika.id – Karya sastra, baik puisi, cerpen, novel, hingga drama terus berkembang dan diproduksi. Meski demikian, hanya beberapa karya Sastra yang tak lekang zaman, salah satunya cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ karya Ali Akbar (AA) Navis.
Sebab itu, untuk mengenal lebih dalam sosok yang berhasil menciptakan karya abadi tersebut, Kafe Adakopi menggagas program bertema ‘Belajar Kepada Pesohor’.
“(Belajar Kepada Pesohor) bertujuan untuk mengenal dan meneladani Para Pesohor Sastra Indonesia dan bagaimana Para Pesohor itu berkarya, sehingga menghasilkan karya-karya yang sangat fenomenal dan abadi,” kata pemilik kafe Adakopi sekaligus pengamat sastra, Mahwi.
“Harapannya, generasi kami dapat meniru dan mengestafetkan apa-apa saja yang sudah dimulai oleh generasi terdahulu dan mewariskan nilai-nilai Sastra Indonesia kepada generasi berikutnya,” tambahnya.
Pada edisi perdana, program yang digagas bersama HIMA Sasindo Unpam, dan Emperas Cerdas itu membahas karya Sastrawan AA Navis “Robohnya Surau Kami”. Kegiatan dilaksanakan di Kafe Adakopi di Jalan Terusan H. Nawi Malik, Bojongsari, Depok, pada Minggu, 21 Mei 2023.
Cerpen yang terbit pada 1956 itu mengisahkan riwayat tragis seorang Garin (penjaga surau) yang taat beribadah. Garin itu dilanda resah setelah diceritakan Ajo Sidi tentang akhir hidup seorang ahli ibadah bernama H. Saleh.
Dosen Sastra Indonesia Universitas Pamulang, Irwansyah mengatakan, AA Navis dalam novel itu berhasil memotret realitas sosial masyarakat Minang. Ahli ibadah yang diceritakan dalam cerpen mementingkan diri sendiri pada akhirnya dimasukkan ke neraka.
“Makanya, A.A Navis menggambarkan para ahli agama ini ditempatkan di neraka Tuhan, karena tidak mau berbaur dan mengingatkan masyarakat sekitar untuk senantiasa beribadah kepada Tuhan,” kata Irwan, sapaan akrabnya saat menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, Minggu.
Selain itu, Irwan mengungkapkan AA Navis membuktikan diri dia tidak menghilangkan identitasnya sebagai masyarakat Minang. Dalam karya tersebut, AA Navis memakai kosa kata bahasa Minang, seperti ‘Surau’.
“Penggunaan kata-kata itu tidak hanya untuk menunjukan identitas daerahnya saja, tetapi juga digunakan untuk menegaskan bahwa cerita ini benar-benar yang diangkatnya di daerah padang,” katanya.
Sementara itu, Khardi Ansyah, penulis yang juga aktif dalam pergerakan literasi, mengatakan, dalam cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ AA Navis menggambarkan sebuah paradoks.
“Para ahli ibadah, yang biasa kita pahami dekat dengan surga, justru ditempatkan dalam neraka Tuhan,” katanya.
Sekedar diketahui, cerpen Robohnya Surau Kami ditulis AA Navis pada 1955. Navis sendiri dijuluki sebagai Sang Pencemooh karena tulisannya yang mengandung kritik ceplas-ceplos dan apa adanya.
Sastrawan kelahiran Padang Panjang pada 17 November 1924 ini menghembuskan napas terakhir pada 22 Maret 2003.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di Sini.
Laporan: Eka Gilang
Editor: Firman