jurnalistika.id – Upaya mencapai kemandirian pakan bagi peternak lele terus dikembangkan melalui budidaya azolla dan maggot. Inovasi ini dapat mengurangi ketergantungan pada pakan pabrikan, sekaligus menjadi solusi dalam pengelolaan sampah rumah tangga.
Salah satu kelompok peternak di Banten kini tengah mengembangkan model ini sebagai langkah awal menuju swasembada pakan dan pangan.
Edi Suganda, Pembina Pusat Yayasan Gerakan Masyarakat (GERBANG EMAS) dan pembina Gerakan Cinta Prabowo (GCP) DPC Tangerang Selatan (Tangsel), mengatakan pengembangan azolla dan maggot saat ini masih difokuskan di wilayah Banten sebagai proyek percontohan sebelum diperluas ke daerah lain.
“Nanti dari azzola ini kita akan kembangkan ke kelompok-kelompok tani kita, sementara se-Banten dulu sebagai area percontohan,” ujarnya saat diwawancara di Tangsel, Sabtu (8/2/2025).
Baca juga: Inspiratif! Simak Kisah Aminudi, Kaya Raya dari Budidaya Maggot
Ia menjelaskan maggot yang dibudidayakan tidak sebatas untuk kebutuhan pakan ikan mereka sendiri. Melainkan juga akan diproduksi menjadi tepung maggot yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan burayak atau anak ikan.
Selain itu, maggot kering juga dapat digunakan sebagai pakan ikan hias seperti koi dan arwana, serta burung berkicau.
“Peluang usaha dari sampah ini sangat cerah. Dari awalnya limbah, tapi ada manfaat di situ,” tambahnya.
Budidaya Maggot Juga Efektif Atasi Masalah Limbah

Dalam wawancara lebih lanjut, Edi menyoroti masalah utama yang ingin mereka atasi, yakni pengelolaan sampah rumah tangga.
Menurutnya, Indonesia saat ini tengah menghadapi darurat sampah, dan budidaya maggot menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Maggot mengonsumsi limbah olahan dapur (LOD), seperti sisa nasi, potongan sayuran, dan sisa buah, yang kemudian diolah menjadi sumber protein alternatif bagi pakan ternak.
“Tujuannya adalah bagaimana sampah itu menghasilkan uang. Sampah menghasilkan uang, ya budidaya maggot. Maggot makannya limbah rumah tangga. Dengan begini, kita bisa mengurangi limbah sekaligus menciptakan ekonomi sirkular,” jelasnya.
Ia juga menyoroti tantangan yang dihadapi petani dan peternak, yaitu ketergantungan pada pakan pabrikan yang mahal.
“Petani itu didoktrin pabrik. Ada uang, beli pakan, kasih ke ternak. Tapi kalau sudah skala bisnis, break even point pun nggak ada. Biaya pakan bisa mencapai Rp13.000 per kilogram, sementara harga jual ikan belum tentu menguntungkan. Akibatnya, banyak peternak merugi,” paparnya.

Dengan menerapkan sistem pakan berbasis Azolla dan maggot, biaya produksi dapat ditekan hingga 60-70 persen.
“Biaya produksi peternakan yang paling besar adalah pakan. Dengan adanya maggot dan azolla, kita bisa menekan harga pakan 60-70 persen. Sisanya, sekitar 20 persen, untuk biaya tenaga kerja dan obat-obatan,” jelasnya.
Sebagai langkah awal, menciptakan pakan alternatif melalui maggot dan azolla telah diterapkan di kawasan budidaya ikan tawar dan peternakan di berbagai daerah. Seperti di Ciampea, Gunung Sindur, dan Pamulang Tim (GERBANG EMAS).
Hasilnya menunjukkan efisiensi yang berarti dalam biaya produksi tanpa mengorbankan kualitas hasil panen. Nantinya akan diduplikasi di beberapa wilayah GERBANG EMAS dan GCP di Seluruh Indonesia.
Jika metode ini terus dikembangkan dan diadopsi oleh lebih banyak peternak, bukan tidak mungkin swasembada pakan dan pangan di sektor perikanan dapat segera terwujud.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini