jurnalistika.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengungkap skandal besar dalam tata kelola minyak di tubuh PT Pertamina yang diduga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Modus operandi yang digunakan para pelaku cukup licik. Mereka membeli bahan bakar berkualitas rendah lalu mengoplosnya agar terlihat seperti produk premium sebelum dijual ke masyarakat dengan harga tinggi.
Kasus ini menyeret sejumlah petinggi di lingkungan Pertamina dan pihak swasta yang diduga terlibat dalam praktik pengoplosan bahan bakar Ron 90 (Pertalite) menjadi Ron 92 (Pertamax).
Baca juga: Begini Cara Mendes Yandri Cawe-cawe di Pilkada Serang Menangkan Sang Istri
Selain melanggar aturan, modus licik maling uang rakyat tersebut juga mempermainkan harga bahan bakar yang berujung pada kerugian besar bagi negara dan masyarakat.
Modus Pengoplosan: Bermain di Storage dan Depo
Kejaksaan mengungkap Riva Siahaan (RS), selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, menjadi dalang utama dalam skema korupsi ini.
RS disebut sengaja mengimpor minyak mentah dengan spesifikasi Ron 90 melalui PT Kilang Pertamina Internasional dan kemudian diolah menjadi Ron 92 di storage atau depo milik Pertamina.
Padahal, sesuai aturan, proses ini tidak diperbolehkan. Impor minyak dengan standar lebih rendah lalu memanipulasi kualitasnya sebelum dijual sebagai produk premium merupakan pelanggaran serius.
Baca juga: Baru Buka Kurang Setahun, RANS Nusantara Hebat BSD Sudah Tutup
“Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92,” ungkap Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung RI, pada Selasa (25/2/2025).
Dengan cara ini, minyak berkualitas rendah bisa dijual dengan harga tinggi. Selisih keuntungan dari pengoplosan inilah yang diduga masuk ke kantong para pelaku.
Jaringan Mafia BBM: Siapa Saja yang Terlibat?
Kejagung menyebut skema ini melibatkan petinggi Pertamina dan pihak swasta yang bertindak sebagai broker dalam pengadaan minyak mentah. Sejumlah nama yang kini ditetapkan sebagai tersangka antara lain:
- Sani Dinar Saifuddin, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional
- Agus Purwono, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- MKAN, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
- DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim
- DRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Mera
Para tersangka ini disebut berperan dalam pengaturan tender pengadaan minyak. Mereka memastikan pihak tertentu memenangkan proyek impor minyak dengan harga tinggi, meskipun kualitas minyak yang dibeli tidak sesuai spesifikasi.
“Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan,” tambahnya.
Mark Up Harga dan Dampaknya bagi Masyarakat
Skandal ini juga melibatkan mark up harga kontrak pengiriman dalam proses impor minyak. Kejagung mengungkap bahwa fee pengadaan minyak dinaikkan hingga 13%-15%, yang akhirnya membuat harga bahan bakar menjadi lebih mahal bagi masyarakat.
Lebih parahnya lagi, praktik ini berdampak langsung pada kebijakan subsidi bahan bakar. Karena mayoritas kebutuhan BBM dalam negeri berasal dari impor yang harganya dimanipulasi, maka biaya subsidi BBM yang ditanggung APBN pun membengkak setiap tahun.
“Saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” pungkasnya.
Ironisnya, sesuai aturan dalam Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018, Pertamina sebenarnya diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari dalam negeri sebelum memutuskan impor.
Namun, dalam kasus ini, skema impor tetap dilakukan dengan cara yang melanggar hukum demi kepentingan segelintir orang.
Jerat Hukum dan Ancaman Hukuman
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Jika terbukti bersalah, mereka bisa menghadapi hukuman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga miliaran rupiah.
Keberhasilan Kejagung mengungkap skandal ini menjadi tamparan keras bagi tata kelola energi di Indonesia. Praktik kecurangan semacam ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mempermainkan nasib jutaan rakyat yang bergantung pada subsidi BBM.
Dengan nilai kerugian negara yang mencapai Rp193,7 triliun, kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah sektor energi Indonesia.
Kini, masyarakat menanti langkah lebih lanjut dari Kejagung untuk memastikan para pelaku benar-benar dihukum dan uang negara bisa kembali.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.