Jurnalistika
Loading...

Dugaan Sertifikat Bodong di Laut Tangerang, Oknum Kades Diduga Terlibat

  • Jurnalistika

    03 Feb 2025 | 14:25 WIB

    Bagikan:

image

Pasukan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI-AL membongkar pagar laut di kawasan Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2025). (Dok. ANTARA)

jurnalistika.id – Penerbitan ratusan sertifikat tanah di wilayah laut Tangerang menjadi sorotan setelah Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Tangerang menerbitkan 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Milik (SHM) pada 2021-2023.

Dari jumlah tersebut, 50 sertifikat yang berada di pesisir Desa Kohod telah dibatalkan oleh ATR/BPN dengan disaksikan Menteri Nusron Wahid.

Warga Desa Kohod yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Kezaliman (AMAK) menduga ada keterlibatan oknum dan lembaga negara dalam penerbitan sertifikat di atas laut tersebut.

Mereka menuding Kepala Desa Kohod, Arsin, serta pihak Pemerintah dan DPRD Kabupaten Tangerang, hingga ATR/BPN Kabupaten Tangerang terlibat dalam skandal ini.

Modus Penerbitan Sertifikat Laut

Kuasa hukum AMAK, Henri, mengungkapkan dugaan pemalsuan dokumen tanah oleh Kades Arsin menjadi awal dari terbitnya sertifikat laut ini.

“Karena ada tiga prosesnya, pertama oknum kepala desa ini Arsin diduga kuat memalsukan dokumen permohonan dan dokumen tanah, ada girik, surat keterangan tanah, SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang) lalu kemudian diajukan ke BPN,” jelas Henri saat dikonfirmasi, Senin (3/2).

Baca juga: Kejagung Turun, Selidiki Dugaan Korupsi Kasus Pagar Laut Tangerang

Sebelum permohonan diajukan ke BPN, kata Henri, proses harus melalui Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), yang didasari oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Tangerang Nomor 9 Tahun 2020. Perda ini disahkan pada 2022, di era kepemimpinan Bupati A. Zaki Iskandar dan Ketua DPRD Kholid Ismail.

Menurut Henri, perda tersebut berisi rencana reklamasi yang seharusnya mengikuti prosedur perizinan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012, yaitu izin lokasi dan izin pelaksanaan. Namun, dalam kasus ini, izin lokasi sudah ada, tetapi izin pelaksanaan belum dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

“Izin lokasi sudah, tapi izin pelaksanaan belum. Karena izin lokasi cukup dari Pemda (Kabupaten) dan pelaksanaan harus dari Pemerintah Pusat,” kata Henri.

Sertifikat Laut Terbit Secara Brutal

Henri menilai ATR/BPN tidak bekerja profesional karena tetap menerbitkan ratusan sertifikat berdasarkan Perda RTRW Nomor 9 Tahun 2020.

“Dia (BPN) sebagai prosesor, memproses penerbitan sertipikat itu. Harusnya mencek faktual ke lapangan. Kenapa karena mereka terfokus pada kelengkapan dokumen. Dokumen ada ya sudah jalan, kan birokrasi kita seperti itu. Nah yang ngukur itu semuanya pakai drone. Dilihat ini di sistem sudah kuning (zona pemukiman) karena sudah ada tata ruangnya adalah pemukiman,” ujarnya.

Henri juga mengungkapkan bahwa luas bidang tanah yang diajukan kurang dari 2 hektare agar tetap berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten.

“Mengapa itu disetujui oleh Pemkab Tangerang, karena luasan semua bidang itu kurang dari 2 hektar. Semua rata-rata 1,5 hektar. Sehingga itu kewenangannya hanya di kabupaten (BPN Kabupaten), kalau lebih dari 2 hektar itu kementerian, pusat atau ke wilayah di luar mereka (Kabupaten) lah ya sehingga dipecah per 1,5 hektar,” jelasnya.

Identitas Warga Dicatut dan Uang Kompensasi

AMAK masih menelusuri jumlah warga yang identitasnya digunakan tanpa izin untuk penerbitan sertifikat tersebut. Saat ini, satu warga bernama Nasrullah telah melaporkan bahwa namanya dicatut oleh Kades Arsin.

“Jadi yang dicatut tanpa sepengetahuan yang ada di data AMAK itu kan ada 1, karena di Desa Kohod engga semua ikut kami (AMAK). Kalau di luar kami itu kami belum dapat laporan yang kami dengar masih ada juga yang lain. Karena itu tanpa sepengetahuan akan dibuatkan SPPT dan diajukan SHGB, jadi belum bisa dicek karena harus pakai NIK,” ujar Henri.

Henri juga menyebut adanya dugaan kompensasi uang senilai Rp15 juta bagi warga yang bersedia menyerahkan data kependudukan untuk pengajuan sertifikat laut.

“Tapi kami belum tahu siapanya (warga penerima kompensasi Rp15 juta), tapi itu sudah beredar luas informasinya,” tutupnya.

Kasus ini masih terus diselidiki, sementara warga dan AMAK mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas dugaan mafia tanah di Desa Kohod.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

desa kohod

pagar laut

pagar laut misterius

pagar laut tangerang

Tangerang Raya


Populer

Kejati Banten Geledah Kantor DLH Tangsel, Usut Dugaan Korupsi Rp75 Miliar
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami