Jurnalistika
Loading...

Fenomena “Kotak Kosong” di Pilkada 2024 Jadi Kemunduran Demokrasi

  • Jurnalistika

    02 Sep 2024 | 11:15 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi fenomena kotak kosong di Pilkada 2024.

jurnalistika.id – Fenomena pasangan calon tunggal yang harus melawan kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 semakin marak. Hal ini enimbulkan kekhawatiran akan kemunduran demokrasi di Indonesia.

Hingga Sabtu (31/08), Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah. Artinya masyarakat di daerah tersebut berpotensi hanya dihadapkan pada pilihan antara pasangan calon atau kotak kosong.

Situasi ini memicu kritik dari berbagai kalangan, termasuk lembaga pengawas pemilu dan pakar politik, yang menyebut fenomena ini sebagai tanda kemunduran demokrasi.

Baca juga: Hasto Soal Anies Gagal Nyalon di Pilkada 2024: Rakyat Bisa Nilai Siapa yang Halangi

Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, jumlah kotak kosong yang mencapai angka tertinggi dalam sejarah demokrasi Indonesia ini mencerminkan ketidakidealan sistem politik yang ada.

“Demokrasi seharusnya menawarkan kompetisi yang setara, namun ketika hanya ada satu pasangan calon yang melawan kotak kosong, masyarakat kehilangan kesempatan untuk membandingkan ide dan gagasan dari beberapa calon,” ujar Khoirunnisa dikutip dari BBC Indonesia pada Senin (2/9/2024).

Ia menambahkan hal ini dapat menciptakan persepsi bahwa pasangan calon tunggal tersebut adalah satu-satunya pilihan, yang pada akhirnya tidak sehat untuk iklim demokrasi.

KPU sendiri telah memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah tersebut pada 2-4 September 2024. Harapannya dapat membuka peluang bagi munculnya bakal calon baru.

Namun, jika partai politik tidak memanfaatkan perpanjangan waktu ini untuk mengajukan calon, pilkada tahun ini akan mencatatkan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah.

Khoirunnisa juga menyoroti tren “koalisi gemuk” di banyak daerah sebagai salah satu penyebab maraknya kotak kosong. Menurutnya, meskipun kotak kosong tetap merupakan pilihan politik, hal ini bukanlah pilihan yang ideal dalam demokrasi yang sehat.

“Ruang demokrasi yang sehat seharusnya memungkinkan lebih banyak pasangan calon yang bisa adu program, bukan hanya satu calon melawan kotak kosong,” tegasnya.

Putusan MK Buka Peluang Bagi Partai

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 sebenarnya telah membuka peluang bagi partai-partai politik untuk lebih leluasa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi.

Berkat putusan tersebut, ambang batas pencalonan kepala daerah jadi turun. Namun sayangnya, menurut Khoirunnisa, partai-partai politik belum sepenuhnya memanfaatkan kesempatan ini.

“Seharusnya partai lebih berdaya dengan putusan MK ini. Tetapi kenyataannya jumlah kotak kosong justru semakin banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena partai-partai tidak siap mengusung kadernya di pilkada tanpa koalisi besar,” ungkap Khoirunnisa.

Baca juga: Nasib Marshel Widianto di Pilkada Tangsel: Dari Cawalkot ke Timses Benyamin-Pilar

Meskipun demikian, Perludem yakin bahwa tanpa putusan MK tersebut, fenomena kotak kosong ini “akan lebih parah lagi.” Bagi para pemilih, kotak kosong tetap merupakan hak mereka jika merasa tidak cocok dengan pasangan calon yang ada.

Namun, Khoirunnisa menekankan bahwa demokrasi yang sehat harusnya menawarkan lebih banyak alternatif pilihan bagi masyarakat.

Dengan situasi seperti ini, masyarakat di 43 daerah tersebut akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas. Situasi seperti ini mencerminkan realitas demokrasi yang masih jauh dari ideal.

Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini

Demokrasi

Pilkada

Pilkada 2024


Populer

Potret Lautan Massa Aksi Penuhi Jalanan Depan Gedung Parlemen
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami