Jurnalistika.id –Merespon fenomena aparat kepolisian menghapus dan mengecat ulang mural bernada kritik maupun kegelisahan masyarakat, gerakan Sosial ‘Gejayan Memanggil’ mengundang seluruh seniman jalanan se-tanah air untuk mengikuti ‘Lomba Mural Dibungkam’, kriteria pemenang lomba adalah yang paling cepat dihapus aparat.
Pengumuman dibukanya lomba ini diunggah akun Instagram @gejayanmemanggil, Senin (23/8), Lomba akan berlangsung hingga sepekan ke depan atau hingga akhir Agustus 2021.

“Konsepnya, menggambar adalah kebudayaan setiap anak, pemberangusan adalah kekeliruan penguasa atau orang dewasa. Corat-coretan di tembok adalah cara-cara ketika kebebasan bersuara terbatas dan sekarang coretan itu pun dibatasi,” kata Humas Gejayan Memanggil yang namanya minta disamarkan sebagai Mimin Muralis dikutip dari CNNindonesia, Selasa (24/8).
Mimin menerangkan, mural-mural bernuansa kritis layaknya yang beredar belakangan ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Kolonial Belanda di Indonesia puluhan tahun silam. Mural jadi senjata masyarakat terjajah untuk memekikkan semangat kemerdekaan.
“Melihat fenomena ini kami berusaha untuk melihat generasi sekarang yang tertekan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah menangani pandemi Covid-19 dengan cara-cara otoriter,” sebutnya.
Padahal, menurutnya, goresan bermuatan kritis adalah cara negara-negara Eropa dan bekas jajahan mereformasi politiknya. Banyak bertebaran di dinding-dinding tempat umum meski bernuansa satire, bahkan mengancam politisi.
Baca Juga: Heboh! Polisi Buru Pembuat Mural Jokowi 404: ‘Not Found’
“Di Indonesia sebaliknya, mural dianggap kriminal sementara baliho sampah visual dianggap representasi suara rakyat, padahal itu suara oligarki yang punya uang untuk menyewa papan reklame dan mem-printing spanduk banner dan sebagainya yang merusak pemandangan kita secara estetik dan politik,” tutur Mimin.
Sehingga, lomba selain demi menghidupkan semangat revolusi juga menyikapi tindakan pemerintah yang terlalu responsif terhadap coretan-coretan di dinding.
“Responsif yang sifatnya destruktif dan antikritik,” sambungnya menegaskan.
Mimin pun menyebut aparat tak semestinya bertindak sewenang-wenang menyikapi mural-mural yang mengkritik pemerintah. Ia merujuk pada tindakan polisi mencari-cari pembuat mural, seperti yang terjadi terhadap pembuat mural Jokowi ‘404: Not Found’ dan ‘Tuhan Aku Lapar’ di Tangerang, Banten.
Aparat sempat memburu pembuat mural ‘404: Not Found’ lantaran dinilai memuat penghinaan terhadap lambang negara. Menurut Mimin, ini menandakan ketidakpahaman aparat terhadap hukum, sebab presiden bukanlah lambang negara. Pasal penghinaan itu pun merupakan delik aduan dan harus oleh orang yang bersangkutan.
“Selain tidak tahu hukum, sifatnya sudah otoriter tetapi tak mau mengakui,” ujar Mimin.