jurnalistika.id – Dua bulan menjabat sebagai Presiden Indonesia, Prabowo Subianto telah membuat sejumlah keputusan yang mengejutkan banyak kalangan.
Dari menjanjikan pemulihan ekonomi hingga memerangi korupsi, janji-janji itu tampaknya mulai dipertanyakan seiring dengan keputusan-keputusan yang diambilnya.
Dua kebijakan terbaru yang menimbulkan banyak pro dan kontra adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Lalu soal pernyataan bahwa koruptor dapat “bertobat” dengan mengembalikan hasil curiannya.
Janji Prabowo Subianto dan Kenyataan Soal Pajak
Sebelum terpilih sebagai presiden, Prabowo Subianto berjanji untuk tidak menaikkan pajak. Dalam diskusi bertajuk “Industri Keuangan dan Pasar Modal dalam Roadmap Menuju Indonesia Emas” di Jakarta, 29 January 20024, ia menekankan pentingnya efisiensi dalam pengumpulan pajak daripada menaikkan tarif.
“Pajak itu masalahnya adalah bagaimana kita efisien mengumpulkan pajak itu. Bukan naikin pajak setinggi-tingginya. Nanti, kalau dinaikin, orang pada males kerja dan memilih pindah ke negara lain,” ujar Prabowo Subianto seperti dikutip dari Kompas TV.
Baca juga: Prabowo Minta ‘Bawahan’ Hemat Anggaran, Kurangi Seminar dan Kajian
Bahkan, adiknya, Hashim Djojohadikusumo, sempat menegaskan pengusaha tidak perlu cemas mengenai kemungkinan kenaikan tarif pajak.
Namun, kenyataannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Keputusan ini diambil berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sri Mulyani menyatakan, “APBN tetap harus dijaga kesehatannya di tengah berbagai episode krisis keuangan global.”
Pernyataan ini memicu reaksi dari banyak pihak. Bahkan belakangan sudah ada yang melakukan protes lewat aksi turun ke jalan di depan Istana Negara.
Pihak lain juga meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana ini, mengingat daya beli masyarakat yang semakin melemah.
Soal Korupsi
Dari sisi lain, Prabowo juga membuat pernyataan mengejutkan terkait penanganan korupsi. Dalam pidatonya di Kairo, ia mengisyaratkan koruptor yang mengembalikan hasil curiannya kepada negara akan diberikan kesempatan untuk “bertobat.”
“Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan,” ungkapnya.
Pernyataan ini tampak kontradiktif dengan komitmen yang diucapkannya untuk memberantas korupsi. Dan justru menciptakan kesan seolah ada toleransi terhadap pelaku korupsi.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Prabowo benar-benar berniat menindak korupsi, ataukah ia mencari cara untuk menghindari konflik dengan elite yang terlibat?
Jika ia benar-benar ingin menanggulangi korupsi, semestinya langkah yang diambil lebih tegas dan tidak memberikan celah bagi para pelaku korupsi untuk lolos dari hukuman hanya dengan pengembalian aset.
Kebijakan-kebijakan yang diambil Prabowo dalam dua bulan kepemimpinannya menimbulkan kekhawatiran janji-janji yang ia ucapkan selama kampanye kini mulai memudar.
Rakyat Indonesia, yang menaruh harapan besar pada kepemimpinan barunya, mungkin merasa dikhianati oleh keputusan yang bertolak belakang dengan pernyataan awalnya.
Keputusan untuk menaikkan pajak di tengah kondisi ekonomi yang sulit dapat menambah beban masyarakat. Sementara itu, memberi kesempatan kepada koruptor untuk bertobat tanpa penegakan hukum yang tegas hanya akan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Penting bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa ia mampu memenuhi janji-janji yang ia buat selama kampanye. Jika tidak, maka keraguan akan kepemimpinannya akan semakin menguat.
Suara rakyat yang pernah mengantarkannya ke kursi kepresidenan pun bisa berbalik menjadi suara skeptis dan kritis. Dua bulan adalah waktu yang singkat, tetapi cukup untuk menunjukkan arah dan komitmen seorang pemimpin.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.