jurnalistika.id – Pelantikan 48 menteri dan 56 wakil menteri dalam Kabinet Presiden Prabowo Subianto pada Senin (21/10) menuai kritik dari kalangan ekonom.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, menyoroti besarnya jumlah anggota kabinet tersebut, menyebutnya sebagai “kabinet obesitas” yang dinilai bisa menghambat akselerasi di berbagai sektor.
“Size itu matters dalam hal efisiensi. Dengan kabinet super gemuk itu bisa dikatakan dalam satu tahun, dua tahun, gerakan pasti lamban. Padahal Prabowo sendiri menginginkan gerak yang cepat gaspol dalam menjalankan berbagai program dan visi,” ujar Fadhil dalam sebuah diskusi publik yang digelar secara daring, Selasa (22/10/2024) dikutip DetikFinance.
Selain soal efisiensi, Fadhil juga menekankan persoalan koordinasi dan tumpang tindih kebijakan antar kementerian dan lembaga. Menurutnya, pembentukan kementerian koordinator yang baru justru berpotensi memperburuk masalah koordinasi, yang telah menjadi kendala sejak era pemerintahan sebelumnya.
Baca juga: Daftar 7 Penasihat Prabowo, Luhut dan Wiranto Termasuk
“Pada masa Kabinet Jokowi saja, persoalan koordinasi antar menteri sudah menjadi tantangan utama. Kini dengan kabinet yang lebih besar dan tambahan kementerian koordinator baru, saya sulit membayangkan bagaimana koordinasi ini akan berjalan efektif. Banyak domain yang overlapping, seperti di pemberdayaan masyarakat, di mana Kemenko PMK juga terlibat,” jelasnya.
Senada dengan Fadhil, Ekonom Senior INDEF Nawir Messi juga menyoroti wajah lama di bidang ekonomi dalam kabinet Prabowo. Ia pesimistis terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi ke depan, mengingat menteri-menteri ekonomi yang diisi oleh tokoh-tokoh dari kabinet sebelumnya.
“Kalau kita lihat, susunan kabinet ekonomi ini masih diisi oleh stok lama. Mereka di masa lalu sudah menggunakan kapasitas maksimum untuk mendongkrak kinerja perekonomian, namun tetap berada di tataran yang relatif rendah. Saya sendiri tidak berharap banyak adanya akselerasi pertumbuhan yang bisa dicapai dengan tatanan kabinet ekonomi yang ada sekarang,” katanya.
Nawir juga menyoroti dampak stagnasi pertumbuhan ekonomi, seperti meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial ekonomi.
Menurutnya, persoalan pengangguran dan kemiskinan harus segera ditangani mengingat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terus berlangsung, yang memperburuk situasi lapangan kerja di Indonesia.
“Setiap hari kita mendengar PHK terus bertambah, sementara lapangan kerja semakin berkurang. Kabinet baru harus mampu mendorong industrialisasi yang tepat guna mengatasi masalah ini dan membuat lompatan ekonomi ke depan,” tutupnya.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini