jurnalistika.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong atas kasus dugaan korupsi impor gula tidak memerlukan bukti penerimaan aliran uang.
Tom Lembong diduga terlibat dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara dan dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Kejagung, regulasi yang ditandatangani oleh Tom Lembong saat menjabat Mendag dianggap merugikan negara, meskipun penyidik masih menyelidiki apakah terdapat aliran dana yang mengalir kepada Tom.
“Apakah harus ada aliran dana dulu baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?” ungkap Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi pada Kamis (31/10/2024).
Baca juga: Jadi Tersangka Korupsi, Tom Lembong Punya Kekayaan Rp101,4 Miliar
Harli mengungkapkan bukti yang telah dikumpulkan menunjukkan adanya dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Regulasi yang diteken Tom membuka peluang bagi delapan perusahaan swasta untuk melakukan impor gula kristal mentah (GKM). Padahal izin tersebut semestinya hanya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, menambahkan bahwa menjadi tersangka kasus korupsi tidak selalu mengharuskan adanya penerimaan uang secara langsung.
“Ya inilah (aliran dana) yang sedang kita dalami, karena untuk menetapkan sebagai tersangka ini kan tidak harus seseorang itu mendapat aliran dana,” kata Qohar pada Kamis (31/10/2024).
Rincian Modus dan Peran Perusahaan Swasta
Kasus ini berawal dari regulasi impor gula yang diteken Tom Lembong ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Pada 2016, Indonesia mengalami kekurangan stok gula kristal putih (GKP), yang biasanya digunakan untuk konsumsi langsung.
Namun, alih-alih mengizinkan BUMN untuk mengimpor GKP, Tom memberikan izin kepada sejumlah perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Berdasarkan keterangan Kejagung, Tom Lembong menandatangani persetujuan impor GKM yang melibatkan sembilan perusahaan swasta, yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan PT KTM.
Perusahaan-perusahaan ini mengolah GKM menjadi GKP dan kemudian menjualnya melalui distributor dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET), mencapai selisih sekitar Rp 3.000 per kilogram.
Dalam proses tersebut, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) mendapatkan fee sebesar Rp105 per kilogram GKP dari pengolahan GKM yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Jaksa memperkirakan kerugian negara mencapai Rp400 miliar akibat keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan swasta tersebut, yang seharusnya menjadi hak negara.
Implikasi Hukum dan Klarifikasi Kejaksaan
Kejagung menekankan bahwa pelanggaran dalam kasus ini tidak hanya menyangkut dugaan keuntungan pribadi, melainkan juga melibatkan tindakan yang menguntungkan pihak swasta atau korporasi.
“Artinya di dalam dua pasal ini, seseorang tidak harus mendapatkan keuntungan. Ketika memenuhi unsur bahwa dia salah satunya menguntungkan orang lain atau korporasi, akibat perbuatan melawan hukum, akibat perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya, karena jabatannya, dia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” papar Abdul Qohar.
Kasus ini telah menetapkan dua tersangka, yakni Tom Lembong dan Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Kejagung terus mendalami kasus ini, termasuk mengejar bukti terkait aliran dana yang mungkin terlibat dalam proses impor gula yang disinyalir merugikan negara ini.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini