jurnalistika.id – Usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden (Wapres) muncul dari ratusan purnawirawan TNI. Mereka menyuarakan desakan tersebut dalam acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Tokoh Masyarakat di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (17/4/2025) lalu.
Sebanyak 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel mendukung pencopotan Gibran. Salah satu tokoh terkemuka dalam barisan itu adalah Jenderal Purn TNI Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI sekaligus Wakil Presiden di era Orde Baru.
Alasan utama yang disampaikan para purnawirawan berpusat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu.
Baca juga: Dihantam Tarif Impor AS, Prabowo Tegaskan Indonesia Tak Akan Minta Belas Kasihan
Mereka menilai putusan itu melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, sehingga dasar hukum pencalonan Gibran sebagai Wapres dianggap cacat.
Dengan pertimbangan tersebut, mereka sepakat mendorong pergantian Gibran lewat mekanisme Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Tanggapan Ketua MPR
Menanggapi usulan tersebut, Ketua MPR Ahmad Muzani menyatakan bahwa dirinya belum mempelajari permintaan tersebut secara mendalam.
“Saya belum membaca itu. Belum mempelajari itu dan belum membaca. Baru mendengar juga beberapa, sekilas-sekilas,” ujar Muzani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Muzani menegaskan bahwa pelantikan Gibran sebagai Wakil Presiden sah, mengingat pasangan Prabowo Subianto dan Gibran dinyatakan menang dalam Pemilu 2024, serta telah melewati uji sahih di Mahkamah Konstitusi.
Pihak Istana Buka Suara
Dari pihak Istana, respons datang melalui Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto. Ia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo menghormati aspirasi para purnawirawan.
“Presiden memang menghormati dan memahami ya pikiran-pikiran itu. Karena kita tahu beliau dan para purnawirawan satu almamater ya, satu perjuangan, satu pengabdian,” ucap Wiranto.
“Dan tentu punya sikap moral yang sama ya dengan jiwa sapta marga dan sumpah prajurit,” lanjutnya dalam konferensi pers, Kamis (24/4/2025).
Baca juga: Pesepeda Tewas di MH Thamrin: Cermin Lalai Tata Kelola Jalan Jakarta
Secara konstitusional, prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Untuk memulai proses tersebut, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK guna memeriksa dan memutus pendapat tentang adanya dugaan pelanggaran hukum.
Usulan pemberhentian juga harus mendapat dukungan minimal dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Selanjutnya, keputusan akhir diambil melalui rapat paripurna MPR dengan syarat minimal kehadiran dua pertiga anggota dan disetujui setengah dari jumlah yang hadir.
Sesuai ketentuan Pasal 7B, pemberhentian hanya dapat dilakukan apabila Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau sudah tidak memenuhi syarat jabatan.
Hingga kini, dinamika tersebut masih menjadi perbincangan panas di tingkat nasional, menandai babak baru dalam perjalanan politik nasional pasca-Pemilu 2024.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.