jurnalistika.id – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa industri tekstil di Indonesia, memiliki sejarah panjang dan penuh dinamika. Perusahaan ini berdiri sejak era Orde Baru dan telah melalui berbagai fase perkembangan serta tantangan.
Sritex juga sudah melalui ekspansi besar-besaran hingga akhirnya dinyatakan pailit pada tahun 2024. Sejarah Sritex yang dimulai dari usaha kecil di pasar lokal hingga menjadi perusahaan global, menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana sebuah perusahaan bertahan di tengah perubahan zaman, sekaligus menjadi bukti bahwa raksasa bisnis pun bisa tumbang.
Awal Berdiri: Dari Pasar Klewer ke Pabrik Pertama
Melansir dari situs resminya, sejarah Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika H.M. Lukminto mendirikan usaha kecil perdagangan kain di Pasar Klewer, Solo. Pada masa itu, bisnis kain di pasar tradisional sedang berkembang pesat, dan H.M.
Lukminto berhasil memanfaatkan momentum ini untuk membangun fondasi perusahaan yang kelak akan dikenal luas.
Baca juga: Sritex Pailit, Bikin Nasib 20.000 Pekerja Terancam PHK Tanpa Pesangon
Dua tahun kemudian, pada 1968, Sritex membuka pabrik cetak pertamanya di Solo. Pabrik ini mulai memproduksi kain putih dan berwarna, yang menjadi produk andalan perusahaan.
Langkah ini menunjukkan ambisi besar Sritex untuk tidak hanya menjadi pedagang, tetapi juga produsen yang menguasai proses produksi dari hulu ke hilir.
Pertumbuhan Pesat di Era Orde Baru
Periode pertumbuhan Sritex secara signifikan dimulai pada akhir dekade 1970-an. Pada tahun 1978, perusahaan ini resmi terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan, menandai era baru dalam pengelolaan perusahaan.
Kemajuan itu diikuti dengan pendirian pabrik tenun pertama pada tahun 1982, yang memungkinkan Sritex memperluas portofolio produk tekstilnya.
Pada 1992, Sritex melakukan lompatan besar dengan memperluas pabriknya menjadi fasilitas terpadu yang menggabungkan empat lini produksi utama: pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana.
Perluas tersebut menjadikan Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, dengan kemampuan produksi yang lebih efisien dan kompetitif.
Langkah strategis berikutnya adalah ketika Sritex berhasil menjadi pemasok seragam militer untuk NATO dan Tentara Jerman pada tahun 1994. Suatu langkah yang memperkuat posisi perusahaan di pasar domestik, sekaligus juga membuka pintu bagi ekspansi internasional.
Reputasi Sritex sebagai produsen tekstil berkualitas tinggi semakin menguat di pasar global.
Bertahan dari Krisis Moneter dan Era Baru Pertumbuhan
Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada tahun 1998, banyak perusahaan tekstil mengalami kesulitan, namun Sritex mampu bertahan.
Bahkan, Sritex mencatatkan pertumbuhan yang luar biasa. Perusahaan membuat peningkatan produksi hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun 1992.
Kesuksesan ini menjadi bukti ketangguhan manajemen perusahaan dalam menghadapi tantangan ekonomi yang tidak menentu.
Memasuki dekade 2010-an, Sritex semakin memperkuat posisinya di industri tekstil global. Pada tahun 2013, perusahaan ini mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham SRIL.
Ini adalah salah satu momen penting dalam sejarah Sritex, karena menjadi perusahaan terbuka memberi mereka akses lebih besar terhadap pendanaan untuk ekspansi lebih lanjut.
Sritex terus menerima berbagai penghargaan bergengsi, seperti penghargaan Businessman of the Year yang diterima oleh Iwan S. Lukminto, putra pendiri Sritex, pada tahun 2014 dari majalah Forbes Indonesia.
Perusahaan ini juga diakui secara internasional, seperti dengan Intellectual Property Rights Award dari WIPO pada tahun 2015. Ini adalah bukti bahwa Sritex bukan hanya raksasa di pasar domestik, tetapi juga pemain penting di panggung global.
Perjalanan Menuju Kebangkrutan
Meskipun Sritex terus tumbuh dan berkembang, perusahaan ini mulai menghadapi tantangan finansial yang serius pada akhir dekade 2010-an.
Pada tahun 2017, Sritex berhasil menerbitkan obligasi global senilai 150 juta dolar AS, namun langkah ini juga menambah beban utang perusahaan. Masalah mulai muncul ketika kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya diragukan oleh beberapa pihak.
Pada tahun 2024, Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Hal itu terjadi setelah PT Indo Bharat Rayon, sebagai salah satu kreditur, mengajukan pembatalan perdamaian terkait penundaan kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati pada tahun 2022.
Keputusan pengadilan tersebut juga melibatkan tiga entitas anak perusahaan Sritex, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Sejarah Sritex menggambarkan perjalanan yang penuh liku-liku. Dari sebuah usaha kecil di Pasar Klewer, Solo, Sritex tumbuh menjadi raksasa tekstil dengan reputasi internasional. Namun, kebangkrutan pada tahun 2024 menunjukkan bahwa tantangan keuangan dan manajemen utang bisa menjadi ancaman besar, bahkan bagi perusahaan besar sekalipun.
Kisah Sritex memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang hati-hati dan adaptasi terhadap perubahan kondisi pasar. Di tengah kemajuan pesat, perusahaan harus tetap waspada terhadap risiko, terutama dalam hal manajemen utang dan likuiditas.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini