“Andaikata tak melihat Tuhan
dalam dirimu yang biasa
dan tak istimewa
mungkin aku masih terlunta”.
Sajak di atas adalah bait pertama dalam salah satu sajak Humam S Chudori yang berjudul “Wiwin” dalam kumpulan sajak-sajaknya tentang perempuan.
Selain ‘Wiwin’, masih ada Dewi, Rini, Ratna, Syamsiah, Hafshah dan sajak lainnya yang satu payung dengan sajak bertemakan perempuan tersebut.
Saking istimewanya mahluk yang bernama Perempuan ini, hingga penyair yang juga cerpenis terkenal ini menuliskannya dalam puisi.
“Perempuan itu tiang wingking,” begitulah Humam memulai percakapan kami sebelum acara penghargaan sastra LITERA 2021, di Ruang Merdeka, Swiss BellHotel BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Selasa, 14 Desember 2021 lalu.
Menurut bahasa Jawa, wingking artinya dapur atau belakang.
Secara harfiah bisa berarti bahwa perempuan tiang wingking ialah perempuan yang di dapur atau berada di belakang.
Namun ternyata, penjabarannya tidak sesederhana itu. Jika hanya sebatas itu, maka asisten rumah tangga pun bisa termasuk kategori ini.
“Coba kita lihat ya, artis itu terkenal, tapi siapa yang berada di belakang layarnya? Sutradara, kan? Dan banyak lagi kru pendukung lainnya. Atlit yang terkenal, tapi lihat lagi, ada pelatih yang melatihnya hingga dia menjadi terkenal,” papar pria berusia 63 tahun ini pelan-pelan.
Baca juga: Siapa Sapardi Djoko Danomo?
Sampai sini sepertinya lelaki bijak asal Pekalongan ini ingin melengkapi lebih jauh isi wawancara kami.
Peran Perempuan Sebagai Istri
“Kita cenderung melihat sesuatu dari luar. Padahal secara tidak langsung yang berperan dalam kehidupan keluarga adalah wanita,” lanjut penulis novel Shobrun Jamil ini.
Meski di belakang layar, wanita punya andil besar dalam kehidupan ini.
Bagaimana urusan anak dan suami menjadi selesai di tangan dahsyatnya seorang wanita.
“Tapi ya itu tadi, ngga kelihatan, karena di belakang alias di rumah,” tegas pria yang namanya masuk dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern Edisi 1990.
Pekerjaan rumah yang tak pernah usai dan serangkaian tetek bengek lainnya, hanya wanitalah yang telaten bisa membereskannya. Mahluk yang notabene sering dikatakan lemah itu ternyata tidak selemah label yang sudah tertancap dengan tidak adil.
Tak jarang kita temui wanita-wanita tangguh, yang tak hanya bekerja tapi juga menangani urusan rumah dengan baik.
“Kendati demikian, berperan bukan berarti lalu wanita bisa serta merta memerintah suami. Apalagi jika sang istri bekerja dan gajinya lebih besar,” ulas penulis novel Sepiring Nasi Garam ini.
Seperti dalam cuplikan sajaknya yang berjudul “ Lies”
“kekagumanku pada kecantikan
juga kelembutan sikap
dan kesantunan budi pekerti
adalah zikirku pada Tuhan”.
Memanusiakan Suami
“Katanya, suami yang sering ‘jajan’ adalah mereka yang tidak diperhatikan oleh istri. Sebaliknya, diservis habis-habisan oleh sang kupu-kupu malam,”lanjutnya.
Padahal, suami itu dapat senyuman saja, hatinya sudah tenang luar biasa. Perasaannya semudah itu menjadi renjana.
Kendati mungkin saja, persoalannya belum ada solusi.
Pesan beliau ini senada dengan sajaknya yang berjudul “Hafshah”,
“Ceriamu tak pernah lekang
meski hidup terkekang
dalam bingkai kehidupan
yang cadas penuh retakan
riangmu nan lucu
selalu terlukis di hatiku
tak kenal waktu
saat girang. pun saat sendu”.
Tentu saja dengan sebuah catatan bahwa perlakuan sang istri berangkat dari ketulusan yang terpancar dari ceruk hati. Seperti tertera dalam cuplikan sajak “Syamsiah”,
“Kau berusaha terus menyepuh
bukan dengan emas atau perak
tetapi lewat selembar keikhlasan
serta semangat yang terserak”.
Perempuan adalah Sosok Mulia
“Sejatinya wanita adalah tiang negara,” tuturnya.
Dijelaskan bahwa jika akhlak wanitanya rusak maka rusaklah negara itu. Di sini bisa dilihat betapa wanita memiliki peran yang sangat istimewa bahkan dalam kehidupan negara.
“Dengan kelembutannya wanita bisa menjadi tulang punggung keluarga – sosok yang berperan membawa keluarganya menjadi lebih baik,” ia menambahkan.
Perhatikan lanjutan sajak “Wiwin” berikut ini,
“Jika Dia tak membisiki sesuatu
pada hati nuraniku
atau senantiasa mengingatkan
pasti aku memilih hidup di hutan”.
Baik wanita atau pria tidak bisa memilih peran kecuali menurut pada Sang Khalik.
“Hidup memang sebatas berperan
dan kita tak bisa memilih peran
kendati selalu diperjuangkan
dengan keringat yang jumpalitan”
Namun, bukan berarti mereka tidak bisa berbuat apa-apa melainkan terus memberikan yang terbaik untukNya.
“Pada akhirnya kita pasrah
bukan berarti menyerah
tetapi setiap manusia
akan jalani peran sesuai skenario-Nya”.
Sehingga hubungan mereka bisa menjadi sebuah pertemanan yang hakiki yang terlukis dalam sajak “Dewi,”
“Membuatku memahami persahabatan
tanpa lelah kau jahit sisi-sisi perbedaan
sebelum kutahu arti cinta sederhana
dan perjalanan waktu menjadi fana
Bukan malah menjadi “Rini” dalam cuplikan sajaknya,
persoalannya menjadi rumit
karena jalan yang beda
padahal tak ada yang sulit
jika ukuran yang dipakai sama
dan luka-luka itu menganga
menjadi segudang kesalahan
yang berkepanjangan
koreng bertumpuk di gudang
jiwa dan pikiran
tidak terpikir setitik dosa
akan menjadi problema
di alam selanjutnya
yang kualami
hingga kini”.
Kesimpulannya, perempuan sebagai tiang wingking adalah bagaimana perempuan mendekatkan diri kepada Tuhan meski tak semudah membalikkan tangan.