jurnalistika.id – “Anak didik adalah amanah”, Inilah filososi pertama dari Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Mentari Indonesia Bekasi. Sekolah berbasis nilai Islam ini meyakini bahwa murid adalah titipan Allah yang harus dijaga dengan baik.
Selain itu, pendidikan berbasis modern dan nilai-nilai Islam yang universal juga menjadi filosofi dari Sekolah Islam Mentari yang terletak di Jl. K.H Muhammad Musa No. 1 Bekasi ini.
“Modern bukan berarti hanya sarana dan prasarananya saja tapi juga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan jaman,” ucap Bhayu Sulistiawan, Direktur Pendidikan Yayasan Mentari Indonesia Jaya, menjelaskan kepada Jurnalistika, Kamis 10 Maret lalu.
Kemudian, menurut pria kelahiran Bekasi pada 1986 ini, sekolah yang berdiri tahun 2007 tersebut berdasar pada Quran dan Hadis. Adapun kurikulumnya menerapkan kebijakan dari pemerintah.
Jadi, kurikulumnya mencakup 3 sumber yakni : kurikulum kedinasan, kurikulum agama dan kurikulum yang berpijak pada muatan lokal atau ciri khas sekolah.
Selanjutnya, pria yang hobi badminton ini menjelaskan bahwa dirinya kecebur di dunia pendidikan karena sangat terkesan dengan salah seorang gurunya ketika ia duduk di kelas 6 SD.
“Saat itu belum ada sertifikasi dan tunjangan, namun guru saya tetap mengajar dengan semangat. Ia sangat tulus mengajarkan les kepada kami untuk persiapan ujian saya dan kawan-kawan,”ujarnya.
Perjuangan gurunya ini membuat hatinya trenyuh. Kenangan inilah yang memantapkan kakinya menapaki dunia pendidikan pada tahun 2009 silam. Sebelumnya, ia sempat kuliah di jurusan Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Awalnya, ia memegang kelas rendah di SD. Lalu, pada tahun 2010, yayasan mendirikan SMP. Ia pun mutasi ke SMP. Setelah delapan tahun kemudian, ia bergabung menjadi staf di yayasan yang sama.
3 Nilai Utama Sekolah Islam Mentari Bekasi
Kepada Jurnalistika, Bhayu menyampaikan bahwa dalam menjalankan kegiatan belajar, sekolah memiliki 3 nilai utama : iman, ilmu, akhlak.
Iman itu kaitannya dengan spritual. Ilmu dengan keterampilan dan akhlak dengan perilaku. Tiga inilah yang menjadi pilar sekolah dalam menerangi proses pendidikan sehari-hari.
Metode Sentra
Tak hanya dari Bhayu, Jurnalistika juga mendapat penjelasan tentang pembelajaran dari Siti Zaitun, Kepala Sekolah KB/TK Penguin Family Islamic School dan Ani Andriani, S.Pd – Kepala SDIT Mentari Indonesia 02 Bekasi.
Menurut Zae, sapaan untuk Siti Zaitun, TK Penguin berpijak pada metode sentra untuk KBM mereka.
”Metode pembelajaran itu ibarat wadah, kita memilih wadah yang cocok sesuai dengan isi yang mau kita letakkan di dalamnya, umpamanya anak usia dini ini adalah isinya, nah kita butuh wadah apa nih yang cocok untuk tempat mereka berkembang dan memperloleh pengetahuan? Metode sentra adalah wadah yang tepat dan sesuai untuk dipakai di pendidikan anak usia dini karena disampaikan melalui cara bermain dengan banyak eksplorasi lingkungan dan diberikan banyak pilihan main sehingga anak memahami pengetahuan dengan cara yang menyenangkan” imbuh Zae
Sejalan dengan pemikiran ini, metode sentra memiliki ciri khas. Di antaranya adalah membangun kesiapan anak sebelum belajar (baca:bermain), pijakan saat bermain termasuk juga pojokan-pojokan bermain dll.
Yang tak kalah pentingnya adalah anak mendapat kesempatan untuk mengemukakan gagasan terkait tema belajar. Selain itu, mereka bisa melihat wajah guru dan kawan-kawannya tanpa ada celah.
Perbedaan Sekolah Islam Mentari dengan Sekolah lain
Berbeda dengan Zae yang membahas seputar metode sentra, Ani Andriani menjelaskan 4 keunggulan Sekolah Islam Mentari Indonesia.
“Pembelajaran tahsin dan tahfidz al-qur’an, keterampilan ICT (information & computer technology), pengembangan keterampilan entrepreneurship dan pembiasaan berbahasa inggris,” jelas wanita penyuka pink dan biru ini.
Menurut Ani, anak-anak kelas rendah juga sudah kenal dengan laptop berikut hardwarenya seperti mouse, keyboard dll.
“Sementara itu untuk keterampilan bahasa Inggris, sekolah membiasakan anak untuk berani bicara bahasa Inggris dalam ungkapan yang sederhana,” imbuhnya.
Kendala Teknis Saat Pandemi
Menurut Bhayu, di awal-awal pandemi pihaknya dan orang tua sempat memiliki kendala teknis dalam pembelajaran online.
“Secanggih-canggihnya daring tetap saja luring lebih baik. Kuota dari pemerintah hanya bisa mengakses platform-platform tertentu. Hal ini cukup menjadi persoalan tersendiri. Selain itu, ada jet lag juga dari para pendidik dari offline learning ke online learning,” jelas Bhayu.
Belum lagi orang tua yang bekerja dan tidak bisa mendampingi anaknya. Ini menjadi tantangan tersendiri untuk siswa dan sekolah.
Namun, seiring perjalanan waktu, pihaknya bisa menyiasati kendala tersebut. Alih-alih mengumpulkan tugas via Whatsapp, para siswa SMP cukup melampirkan link untuk setiap tugasnya.
“Meski orang tua sudah memahami kondisi belajar yang kurang efektif. Alhamdulillah, saat evaluasi akhir, nilai anak-anak tidak ada yang turun.”
Komunikasi dan Kekeluargaan
Selain kendala teknis, Bhayu bersyukur tidak ada problem yang signifikan yang terjadi di sekolah selama KBM. Menurutnya, sekolah selalu berupaya untuk membangun komunikasi yang baik dengan stake holder, masyarakat termasuk orang tua.
Seluruh permasalahan diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sekolah dan guru saling terbuka dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, mereka bisa mendapatkan win-win solution.
“Saat pandemi kemudian pembelajaran tatap muka terbatas dengan prokes yang ketat, justru orang tua sangat membantu sekolah dengan pengadaan wastafel, handsanitizer di sekolah. Hal ini mempermudah kelancaran belajar di saat pandemi agar anak-anak tetap sehat ketika belajar,” pungkasnya.