jurnalistika.id – Kejadiannya sudah 11 tahun berlalu, namun bagi Bayu Gawtama – Founder Sekolah Relawan, tragedi meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 silam selalu terbingkai utuh dalam hatinya – selalu menemaninya, menguatkannya.
Ketika mengisahkannya pada saya, lelaki berusia 48 tahun itu, tak kuasa menahan tangis, sesekali terisak dan beberapa kali harus terhenti, menggapai hening sejenak – meredam emosi yang berkecamuk dalam hatinya.
Emosi yang menyeruak – membuncah memaksa keluar di sela-sela lapisan luapan asanya saat itu hingga kini.
Saat itu, Gaw – panggilan akrab Bayu, harus menyelamatkan penduduk Dusun Bronggang, Kelurahan Argo Mulyo, Sleman, Yogyakarta yang terjebak di kawasan aliran lava Merapi – setelah menerima telepon seseorang dari Jakarta bahwa kerabatnya dan juga beberapa penduduk Dusun tersebut belum dievakuasi.
Naluri kemanusiaannya muncul seketika meski Gaw sama sekali tidak tahu area yang dimaksud. Gaw seakan lupa energinya yang sudah hampir habis selama mengevakuasi korban Merapi selama beberapa hari saat itu. Segera ia berangkat bersama timnya – Eko, Arman dan Anwar.
“Sopo sing eruh Dusun Bronggang?” tanyanya kepada kumpulan relawan UII – Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, saat semua relawan kemanusiaan berkumpul di depan kampus UII, Kaliurang.
Akhirnya, pria yang tinggal di Bogor ini, memperoleh penunjuk jalan menuju Dusun tersebut – salah seorang mahasiswa UII yang menjadi relawan kala itu.
Saat itu menurut Gaw, merupakan saat terjadinya letusan ketiga dari gunung berapi di tengah pulau Jawa itu.
Mereka Harus Selamat
Setelah siap dengan tim kecilnya itu, Jebolan STMIK Indonesia ini meluncur dengan semangat membara. Mereka harus selamat, batinnya.
Sebelumnya, sebenarnya Gaw sedang patroli jam 12 malam. Menyisir dan memastikan bahwa semua penduduk di sekitar kawasan yang dekat gunung Merapi sudah dievakuasi.
Menurut Gaw, seluruh penyintas yang berhasil dievakuasi dikumpulkan di Stadion Maguwo – stadion sepak bola di Kalurahan Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan mobil bak terbuka, Gaw dan kawan-kawan menuju lokasi yang dimaksud si penelpon – Dusun Bronggang, kelurahan Argo Mulyo, Sleman, Yogyakarta.
Penyuka warna hitam ini menyusuri jalanan berkabut – debu, air dan lumpur dari sisa-sisa letusan hingga akhirnya menemukan Dusun yang dituju.
“Berkali-kali kami berhenti untuk ngebersihin kaca mobil karna wiper sudah ngga sanggup saking tebelnya.”
Dusun Bronggang tepat berada di tepi Kali Gendol – tempat aliran lava dan lahar dari erupsi Merapi.
Saat itu, pria yang punya hobi travelling ini tidak menyadari, ada seorang fotografer dari Media Indonesia bernama Susanto yang ikut di belakang mobilnya.
Wartawan inilah yang mengambil foto-foto heroik saat Gaw dan tim berupaya keras mengevakuasi para penduduk yang terjebak di Dusun itu.
Belakangan, foto itu mendapat penghargaan sebagai foto terbaik tahun 2010 – 2011 lalu.
Sesampainya di Dusun yang lengang itu, nyaris tanpa suara – yang pertama terlihat hanyalah aliran lava merah menyala dari puncak Merapi. Dari puncak Merapi hingga tepi Dusun Gronggan.
“Ngeri banget, kayak di film-film tapi ini nyata,” Gaw mulai terisak. Wawancara kami terjeda beberapa saat.
Berpacu dengan Lava dan Lahar
Sementara itu, relawan UII yang menemaninya sepanjang jalan sudah jerit-jerit, “Ngga wani aku, Mas,” berulangkali. Dengan tegas Gaw meyakinkan si relawan agar terus berjuang menyelamatkan para penduduk.
Suasana sepi sekali hanya ditemani lahar dan lava di kanan-kiri dan saat itu dusun sudah mulai terbakar – akibat awan panas kecipratan lava – berbentuk bola-bola kecil mulai membakar rumah-rumah yang ada di sekelilingnya.
Sekeliling Gaw pun berasap dan berkabut tebal sehingga lorong-lorong jalan pun tidak terlihat dengan jelas. Hanya hawa panas yang ngebul dan terasa.
“Mesti cepet-cepet, karena ban mobil ngga kan kuat dan bisa melepuh.”
Berharap penduduk mendengar mereka, Gaw dan tim membunyikan pluit dan klakson mobil.
“Tak berapa lama, terdengar jeritan tangis dan erangan kesakitan juga teriakan minta tolong dari beberapa rumah yang mereka lewati,” Gaw terhenti. Berusaha menenangkan diri. Tapi justru air matanya malah bercucuran lagi.
Saat itu, sejurus timnya bingung, mana dulu yang harus diselamatkan? Mana dulu yang harus dievakuasi?
“Saya perintahkan tim untuk mencari yang hidup dulu. Kaki kami sempet kesandung-sandung mayat yang bergelimpangan di jalan saat evakuasi,” kenangnya pilu.
“Jika ada rumah yang terlihat ada penghuninya, kami dobrak dan kami bawa ke mobil.”
Hanya Bisa Berusaha
Lalu tibalah Gaw pada sebuah rumah. Isinya adalah seorang ibu.
“Sampai kini, saya masih kebayang wajahnya. Masih jelas. Kalau cerita ini, saya selalu menangis,” Gaw berusaha menahan airmatanya yang akan jatuh.
“Saya masuk sebuah rumah, ada ibu-ibu tergeletak. Pas mau diangkat, dia berkata, Golekne anakku sek, Mas.”
Saat itu, suasana rumah sudah berasap semua. Gaw memakai masker. Gaw memutuskan mencari si anak terlebih dahulu sesuai permintaan si ibu. Setelah dicari-cari di kamar tidak ketemu, akhirnya Gaw menemukan anaknya di kolong meja.
“Kayaknya mati. Usianya sekitar 4 tahun. Wajahnya tertutup debu tebal. Setelah saya tepuk-tepuk pelan wajahnya, ternyata ia masih hidup! Ia batuk-batuk.”
Sebelum mengevakuasi anak tersebut ke mobil penampungan, Gaw mendengar si ibu berkata, “Mbalek meneh yo Mas, tolong aku, aku ngga kuat,” Ia menirukan ucapan si ibu saat itu kepadanya. Gaw berjanji ia segera balik lagi untuk menolong si ibu.
Jarak dari rumah ibu itu ke mobil penampungan sekitar 100 meter.
“10 meter lagi sampe rumah si ibu, rumahnya kebakar dan ambruk,” tangis Gaw pecah.
Wawancara kali ini benar-benar terhenti. Keharuan menguasai suasana.
Kami mulai bicara lagi saat Gaw sudah bisa menenangkan dirinya.
“Saya maksa masuk. Tim ngelarang. Saya sempet emosi. Saya udah janji sama si ibu. Kata tim saya, lu ga bisa masuk, lu ga bisa nyelametin si ibu. Demi Allah, saya masih inget wajah si ibu.”
Lalu Gaw membawa para korban ke rumah sakit terdekat. Setelahnya, Gaw dan tim balik lagi ke dusun itu saat subuh – penyisiran akhir.
“Menurut catatan, ada 50 orang yang meninggal. Sebuah penyesalan, kita ngga bisa berbuat banyak,” kata Gaw lirih.
Take it or Others Will Take it
Bagi pemilik tokoh favorit Muhammad Hatta ini, untuk kebaikan selalu ada jalan, selalu ada pengikutnya. Maka jadilah pembuka jalan.
“Take it or Others Will Take it.”
Semangat inilah yang merupakan cikal bakal Sekolah Relawan pada tanggal 13 Januari tahun 2013 silam.
Meski saat terjun ke dunia kemanusiaan – menyelamatkan banyak orang, nyawanya sering terancam, Gaw tak jera.
Sebelum menutup waancara, Gaw mengutarakan harapannya.
“Semoga semua relawan bisa teredukasi, jangan pernah berhenti belajar dan berlatih. Jangan pernah merasa hebat,” pungkasnya.
Baca juga: