Jurnalistika
Loading...

Ada Seksisme dalam Debat Pilkada Banten 2024, Apa Itu?

  • Jurnalistika

    17 Okt 2024 | 16:45 WIB

    Bagikan:

image

Airin Rachmi Diany dan Dimyati Natakusumah saat debat perdana Pilkada Banten 2024, Rabu (16/10/2024). (Dok. YouTuber KPU Banten)

jurnalistika.id – Debat Pilkada Banten 2024 menjadi sorotan bukan hanya karena kontestasi politik yang menarik, tetapi juga karena munculnya narasi seksisme yang tak terelakkan.

Dalam debat bertema ‘Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Akselerasi Pembangunan Berkeadilan di Provinsi Banten’ yang berlangsung pada Rabu (16/10/2024), calon wakil gubernur nomor urut 2, Dimyati Natakusumah, dengan sadar membuat pernyataan yang mempertanyakan kemampuan calon gubernur perempuan.

“Wanita itu harus mendapatkan perhatian karena memang wanita itu spesial. Maka, kita harus melindungi wanita. Oleh sebab itu, wanita itu jangan dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur, itu berat. Maka, laki- laki lah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju,” sebut Dimyati dalam debat yang berlangsung Rabu (16/10/2024) malam.

Baca juga: Dimyati Sebut Perempuan Tak Harus Jadi Gubernur, Airin Tersenyum

Ungkapan tersebut secara tidak langsung menyerang Airin Rachmi Diany, selaku satu-satunya peserta perempuan dalam debat tersebut.

Pernyataan ini juga seolah memicu masalah yang muncul bukan sekadar kompetensi, melainkan terletak pada sentimen seksis yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang tak layak memegang jabatan tinggi karena jenis kelaminnya.

Seksisme dalam Politik: Akar Masalah yang Belum Tuntas

Pernyataan Dimyati yang menyebutkan bahwa “wanita itu spesial dan harus dilindungi” sekilas mungkin terdengar seperti pujian. Namun, saat ditelisik lebih dalam, retorika semacam ini berakar pada bias gender yang mengerdilkan posisi perempuan dalam ruang publik, khususnya politik.

Dalam pernyataannya, Dimyati menegaskan bahwa menjadi gubernur adalah “beban berat” yang tidak seharusnya dipikul oleh perempuan. Narasi ini mencerminkan pandangan tradisional yang memisahkan peran gender secara kaku—di mana perempuan dianggap lebih cocok untuk berada di ruang domestik, sementara laki-laki diberi ruang publik dan kekuasaan politik.

Baca juga: Beda Solusi Pendidikan di Banten: Andra Gratiskan Sekolah, Airin Tawarkan Beasiswa

Seksisme semacam ini menandakan bahwa masih ada pandangan usang yang melekat dalam benak sebagian politisi, termasuk Dimyati, yang gagal melihat perempuan sebagai agen perubahan yang setara dalam ranah politik.

Pandangan ini jelas problematik, apalagi dalam sebuah sistem demokrasi modern yang menjunjung tinggi prinsip keadilan gender dan kesetaraan.

Keheningan Airin: Pilihan atau Taktik Politik?

Menariknya, Airin Rachmi Diany, calon gubernur yang menjadi target pernyataan seksis ini, memilih untuk tidak merespons langsung.

Sebagai perempuan yang sudah teruji di arena politik, dengan rekam jejak sebagai Wali Kota Tangerang Selatan, Airin memiliki pengalaman dan kapasitas. Namun, keputusannya untuk hanya tersenyum dan tidak membalas serangan verbal tersebut bisa jadi mencerminkan dua hal.

Pertama, bisa jadi Airin memilih diam karena menganggap pernyataan tersebut tak layak ditanggapi, sehingga memilih menghindari pertarungan kata yang bisa mengalihkan fokus debat.

Kedua, Airin mungkin menyadari melawan dengan respons keras dapat dimanfaatkan lawan politiknya untuk menggambarkannya sebagai figur emosional—stereotip lain yang sering dilekatkan pada perempuan dalam politik.

Dalam hal ini, diam mungkin merupakan strategi yang cerdas, mengingat betapa rawannya debat politik bisa diarahkan ke hal-hal yang justru merugikan kandidat perempuan.

Namun, meskipun diamnya Airin mungkin bisa dipahami sebagai taktik politik, ini tidak menghapus fakta bahwa narasi seksis yang dilontarkan Dimyati sangat berbahaya.

Diamnya Airin juga bisa dilihat sebagai refleksi dari tantangan yang dihadapi banyak perempuan di ruang publik, di mana mereka harus memilih strategi tertentu untuk tetap bertahan dalam budaya yang masih didominasi oleh patriarki.

Seksisme Terselubung di Balik Janji Perlindungan

Menarik untuk dicermati bahwa di balik pernyataan yang meremehkan Airin, Dimyati juga menekankan komitmennya untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, serta berjanji menyekolahkan anak perempuan hingga jenjang tinggi.

Pernyataan ini, meskipun terdengar baik di permukaan, mengandung ironi yang tidak bisa diabaikan.

Bagaimana mungkin seseorang yang meremehkan kapasitas perempuan untuk memimpin juga bisa menyuarakan dukungan untuk pendidikan tinggi bagi anak perempuan?

Baca juga: Andra Soni Dukung Pemekaran Kabupaten Lebak, Airin Soroti Celah Fiskal Daerah Baru

Ada kontradiksi dalam pandangan Dimyati, perempuan dianggap layak mendapatkan pendidikan, tetapi tetap dihalangi dari akses penuh terhadap ruang-ruang kepemimpinan dan kekuasaan.

Ini adalah bentuk seksisme paternalistik yang umum, di mana perempuan diberi hak dan kebebasan sampai batas tertentu. Tetapi kemudian dipandang tidak cukup kuat atau kompeten untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh patriarki.

Pernyataan seperti ini menggambarkan bahwa komitmen terhadap kesetaraan gender harus melampaui sekadar janji. Tanpa pengakuan penuh terhadap kapasitas dan hak perempuan untuk memimpin, semua komitmen tersebut menjadi setengah hati.

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya hadir dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk ideologis—seperti yang tercermin dalam pernyataan yang mendiskriminasi mereka berdasarkan jenis kelamin.

Pentingnya Pendidikan Gender dalam Politik

Apa yang terjadi dalam debat Pilkada Banten 2024 ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dalam politik Indonesia: masih adanya seksisme terselubung yang membatasi peran perempuan dalam memimpin.

Pernyataan seperti yang dilontarkan Dimyati bukanlah hal baru, tetapi merupakan pengingat bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mengatasi bias gender di ruang politik.

Penting bagi masyarakat, termasuk para pemilih, untuk lebih kritis dalam melihat kandidat yang akan dipilih. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak hanya mendukung pendidikan dan perlindungan bagi perempuan, tetapi juga mengakui bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dan memimpin dalam ruang-ruang publik.

Dengan terus meningkatkan kesadaran gender di kalangan politisi dan pemilih, kita bisa berharap akan adanya perubahan menuju politik yang lebih inklusif dan setara. Artinya,kepemimpinan perempuan tidak lagi dipertanyakan, melainkan dihargai.

(Opini)

Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini

Achmad Dimyati Natakusumah

Airin Rachmi Diany

debat pilkada banten

Pilkada 2024

seksisme


Populer

Benyamin-Pilar Sebut Teknologi dan Edukasi Solusi Tuntaskan Masalah Sampah di Tangsel
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami