jurnalistika.id – Otto Iskandar Dinata merupakan Pahlawan Nasional Indonesia berdarah Bandung. Dan namanya, menjadi salah satu nama jalan di Tangerang Selatan (Tangsel).
Jalan tersebut menghubungkan Jalan Padjajaran Pamulang, Bambu Apus, dan Jalan Jakarta-Bogor. Tepatnya mulai dari pertigaan di depan RS Sari Asih Ciputat hingga pertigaan Bambu Apus.
Otto Iskandar Dinata juga dikenal sebagai Otista, dan tidak hanya di Tangsel namanya dijadikan sebagai nama jalan. Melain terdapat juga di beberapa daerah seperti Bandung dan Jakarta Timur.
Baca juga: Sejarah Pembentukan Provinsi Banten: Dari Aspirasi Hingga Realisasi
Sayangnya, meski sejumlah jalan menjadi penghormatan untuknya, justru hal membuat orang lebih mengenalnya sebagai jalan daripada seorang tokoh Pahlawan Nasional.
Oleh sebab itu, mari mengenang sosok Otto Iskandar Dinata supaya dapat merawat ingatan tentang tokoh pahlawan sekaligus tokoh sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Kehidupan Awal Otto Iskandar
Otto Iskandar Dinata lahir di Bojongsoang, Dayeuhkolot, Bandung, pada 31 Maret 1897. Sosok yang mendapat julukan “Si Jalak Harupat” ini tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan Sunda.
Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam, adalah seorang kepala desa, sehingga Otto mendapatkan pendidikan yang baik. Ia memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah untuk anak-anak pribumi terpilih.
Usai menamatkan pendidikan di HIS, ia kemudian melanjutkan ke Hogere Kweekschool, sekolah guru di Bandung. Dia terbilang memiliki kecerdasan dalam hal akademik.
Kiprah dalam Organisasi Nasional, Politik dan Peran dalam Kemerdekaan
Perjalanan hidup Otto sejak dini sudah diarahkan pada dunia pendidikan dan politik. Setelah lulus, ia menjadi guru di Banjarnegara, Jawa Tengah, sebelum kembali ke Bandung pada tahun 1920.
Kehidupannya di kota inilah ia mulai aktif dalam pergerakan nasional, dengan bergabung ke organisasi Budi Utomo. Otto diangkat sebagai Wakil Ketua cabang Budi Utomo Bandung antara 1921 hingga 1924.
Karier politiknya berkembang pesat ketika ia juga menjadi anggota Paguyuban Pasundan. Wadah ini merupakan organisasi yang memperjuangkan hak-hak rakyat Sunda.
Baca juga: Sejarah Kesultanan Banten Ubah Jalan Perdagangan Nusantara
Pada 1930-an, Otto menjadi anggota Volksraad, semacam parlemen Hindia Belanda, dan ia dikenal sebagai salah satu anggota yang vokal melawan kebijakan kolonial. Kelantangannya dalam mengkritik ketidakadilan pemerintahan Belanda inilah yang membuatnya memperoleh julukan Si Jalak Harupat karena keberaniannya.
Pada masa-masa persiapan kemerdekaan, Otto menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan lembaga penting dalam perencanaan kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Otto diangkat sebagai salah satu Menteri Negara dalam kabinet pertama Indonesia. Dia bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Amir dan Wahid Hasyim.
Dalam posisi ini, ia bertanggung jawab untuk mengurus pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang nantinya menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Namun, pembentukan BKR ternyata memunculkan konflik. Tidak semua laskar pejuang, termasuk eks tentara Jepang dan KNIL, sepakat dengan upaya Otto menyatukan kekuatan-kekuatan militer yang berbeda.
Ketegangan ini akhirnya menjadi salah satu penyebab mengapa Otto menjadi sasaran dalam konflik internal. Konflik internal ini memunculkan ketegangan, dan salah satu kelompok milisi, yaitu Laskar Hitam, akhirnya menculik Otto pada Desember 1945.
Kematian yang Misterius
Otto mengalami nasib tragis ketika ia diculik pada 19 Desember 1945 oleh Laskar Hitam. Kelompok milisi ini bermarkas di Tangerang.
Ia kemudian dibawa ke pantai Mauk, Tangerang, dan hilang tanpa jejak. Hingga saat ini, jenazah Otto tidak pernah ditemukan.
Peristiwa ini menimbulkan banyak spekulasi dan teori konspirasi. Salah satunya menyebut bahwa Otto menjadi korban fitnah yang disebarkan oleh agen-agen NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Ia dituduh sebagai mata-mata Belanda, meskipun tuduhan ini belum terbukti kebenarannya. Kemungkinan lain adalah terkait uang satu juta gulden yang diberikan oleh perwira Jepang, Ichiki Tatsuo, yang menyebabkan munculnya konflik internal dalam kalangan milisi yang berujung pada pembunuhan Otto.
Meskipun meninggal dalam kondisi tragis, nama Otto tetap dikenang sebagai pahlawan yang berjasa besar bagi kemerdekaan Indonesia. Pada 6 November 1973, ia resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 088/TK/1973.
Baca juga: Sejarah dan Isi Ikrar Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
Warisan Otto dapat ditemui di berbagai tempat, seperti nama jalan yang diabadikan di beberapa kota di Indonesia, serta stadion Si Jalak Harupat di Kabupaten Bandung yang dinamai berdasarkan julukannya.
Kehidupan dan perjuangan Otto Iskandar Dinata adalah cermin semangat pantang menyerah dalam mencapai kemerdekaan. Sosoknya tidak hanya dihormati karena dedikasinya terhadap bangsa, tetapi juga karena keberanian dan keteguhannya dalam memperjuangkan hak rakyat di tengah ancaman dan tekanan dari kolonialisme.
Kematian misteriusnya menjadi bukti betapa kompleks dan berbahayanya perjuangan kemerdekaan saat itu, tetapi kontribusinya tetap hidup di hati bangsa Indonesia.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini