jurnalistika.id – Saat kemunculannya pertama kali ke layar lebar pada 2019 silam, Joker telah mencuri perhatian penggemar film di dunia termasuk Indonesia. Hasil tangan dingin Todd Phillips menjadi pembicaraan di berbagai media sosial, juga kerap jadi bahan diskusi.
Kepopuleran Joker (2019) bahkan menghadirkan ribuan konten di media sosial seperti TikTok, baik memparodikan atau mengambil kutipan kata-kata dari pemeran utamanya.
Ulasan menganai Joker (2019) di banyak kanal pun sudah bertebaran, dan ulasan ini barangkali sangat terlambat. Namun, dari semua itu, hal menariknya adalah tentang kehidupan Joker yang cukup kompleks.
“Aku selalu mengira hidupku adalah tragedi. Tapi sekarang aku sadar, itu adalah komedi.” — Kalimat itu diucapkan oleh Arthur Fleck dengan tatapan kosong namun penuh pencerahan.
Baca juga: Apa Film Pertama di Dunia?
Barangkali itu bukan hanya klimaks narasi, melainkan tesis utama dari film Joker (2019) besutan Todd Phillips. Sebuah pengembaraan ke dalam jiwa manusia yang tak sekadar terluka, tapi juga terkikis oleh absurditas sosial yang menyamar sebagai ketertiban.
Tak Ada Superhero dalam Joker (2019)
Dibandingkan dengan versi sebelumnya yakni Batman: The Knight Dark, Joker lebih dipandang sebagai penjahat. Sosoknya digambarkan sebagai agent of chaos (agen kekacauan).
Berbeda dalam dalam Joker, tidak ada pahlawan. Tidak pula penjahat dalam pengertian klasiknya. Yang ada hanyalah manusia yang rapuh, disalahpahami, dan didepak dari norma, dalam struktur sosial yang begitu dingin hingga hanya kemarahan yang mampu menghangatkannya.
Film ini lebih dari sekedar potret individu dengan gangguan psikis. Ia adalah tesis panjang tentang bagaimana peradaban modern menciptakan monster dari manusia biasa, bukan karena takdir, tapi karena kelalaian sistemik yang terus-menerus memproduksi ketidakpedulian.
Baca juga: Apa Band Pertama di Dunia? Simak Penjelasannya
Arthur Fleck bukan anti-hero, apalagi villain. Ia adalah produk gagal dari zaman yang memuja performa dan menelantarkan empati. Latar Gotham yang suram adalah alegori sempurna bagi kota-kota besar dunia hari ini.
Penuh gedung tinggi tapi kosong dari pengertian, padat manusia tapi miskin kasih sayang. Arthur bukan satu-satunya korban. Ia hanyalah kaca retak tempat masyarakat melihat wajah asli mereka, tanpa filter moral, tanpa efek dramatis.
Dan di sinilah letak kejeniusan film ini, menyamarkan tragedi sebagai komedi, lalu membiarkan penonton menentukan sendiri, apakah mereka ingin tertawa atau menangis.
Tawa Menjadi Senjata
Arthur Fleck hidup dalam tawa yang dipaksakan. Penyakitnya yang membuatnya tertawa tanpa sebab seolah menjadi metafora akan dunia yang memaksa manusia untuk tetap ‘ceria’, meski jiwanya luka parah.
Tertawa menjadi senjata, sekaligus topeng. Arthur tertawa bukan karena bahagia, melainkan karena itulah satu-satunya ekspresi yang diterima publik dari orang-orang yang rapuh.
Namun film ini tidak berhenti di sana. Melalui sudut pandang yang tidak bisa diandalkan, karena Arthur sendiri tak bisa membedakan kenyataan dan fantasi, penonton diajak untuk mempertanyakan validitas persepsi.
Apakah kita benar-benar tahu siapa kita? Apakah realitas memang ada, ataukah kita hanya hidup dalam narasi yang kita pilih untuk percaya?
Ketika Arthur membunuh tiga eksekutif muda di kereta bawah tanah, publik merespons dengan topeng badut dan gerakan “Bunuh Orang Kaya.” Bagi Arthur, itu bukan bentuk pembelaan. Itu kekacauan yang membungkusnya dengan legitimasi.
Ia bukan lagi manusia, melainkan simbol. Inilah momen metamorfosis. Dari Arthur Fleck, pria yang ingin dikenali menjadi Joker, tokoh yang dilihat semua orang, tapi tak pernah benar-benar dikenal. Ironisnya, Arthur baru merasa hidup ketika ia menerima absurditas hidup itu sendiri.
Baca juga: Apa Klub Sepak Bola Pertama di Dunia? Temukan Jawabannya
Seperti tokoh Meursault dalam L’Étranger karya Albert Camus, Joker tidak memilih hidup atau mati dengan konvensi moral. Ia hanya ingin menjadi jujur dalam dunia yang memaksa orang memakai topeng secara literal dan simbolik.
Jika hidup adalah tragedi, maka ia terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Tapi jika hidup adalah komedi, maka semuanya bisa diterima, bahkan pembunuhan, bahkan kegilaan. Di sinilah pemikiran absurd Camus menggema.
“The absurd is born of this confrontation between the human need and the unreasonable silence of the world (Yang absurd lahir dari konfrontasi antara kebutuhan manusia dan kesunyian dunia yang tak masuk akal).”
Joker dan Gugatan Eksistensi
Namun Joker tidak hanya menggugat eksistensi individu. Ia juga memanggil penonton untuk mengaudit ulang nilai-nilai masyarakat.
Thomas Wayne, simbol kekuasaan, karisma, dan narasi heroisme neoliberal, adalah sosok yang tampaknya mengendalikan arah kota. Namun pada kenyataannya, ia tak lebih dari ayah simbolis yang gagal merawat anak-anaknya yang tersisih.
Arthur, atau Joker, adalah anak dari masyarakat yang terlalu lama menyangkal adanya luka di bawah permukaan ketertiban.
Ketika Arthur menembak Murray Franklin di siaran langsung, itu bukan lagi pembunuhan. Itu adalah deklarasi.
Dekonstruksi terhadap struktur kekuasaan yang mempermainkan penderitaan sebagai bahan hiburan. Komedi menjadi tragedi, dan tragedi berubah menjadi perayaan.
Yang membuat Joker begitu memikat bukan karena ia brutal atau penuh kekerasan, melainkan karena ia terlalu dekat dengan kenyataan.
Manusia hidup dalam dunia di mana empati menjadi barang mewah, kesehatan mental dijadikan beban pribadi, dan kemarahan menjadi bentuk komunikasi terakhir yang bisa didengar. Dalam dunia semacam itu, Arthur bukan monster. Ia adalah anak zaman.
Dan mungkin, seperti kata-kata akhirnya, hidup memang adalah komedi. Tapi bukan jenis komedi yang membuat kita tertawa, melainkan komedi Yunani kuno yang tragis, penuh sarkasme kosmik, dan berakhir dengan seseorang tersingkir dari panggung karena dunia tidak tahu harus memperlakukannya sebagai apa.
Joker (2019) bukan kisah tentang Arthur. Bukan pula kisah tentang satu Joker. Ini adalah kisah kelahiran ide. Ide bahwa manusia, ketika dicabut dari kasih sayang, ketika dipaksa menertawakan penderitaannya sendiri, akan memilih menjadi monster ketimbang tetap menjadi manusia yang tak dianggap.
Dan begitulah, hidup ala Joker. Sebuah hidup yang tak memilih antara tragedi atau komedi, karena, pada akhirnya, ia adalah keduanya.
Referensi:
- ethicsofcare.org
- thereclinerseat
- Rotten Tomatoes
- IMDb
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini