Jurnalistika
Loading...

Polemik RUU TNI: Alasan Ditolak, Geruduk Rapat, Teror, hingga Dilaporkan

  • Jurnalistika

    17 Mar 2025 | 08:15 WIB

    Bagikan:

image

RUU TNI memicu polemik, masyarakat menolak, lakukan aksi, hingga berujung pelaporan.

jurnalistika.id – Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) memicu gelombang protes dari berbagai pihak. Revisi ini dinilai membuka kembali pintu bagi dwifungsi ABRI yang bertentangan dengan amanat reformasi, mengancam supremasi sipil, serta memperbesar potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Gelombang penolakan tidak hanya terjadi di ruang diskusi publik, tetapi juga berujung pada aksi protes di lokasi rapat pembahasan hingga dugaan teror terhadap kelompok masyarakat sipil.

Gerakan serupa juga terjadi di media sosial. Warganet ramai-ramai menggunakan tagar #TolakRUUTNI berisi alasan menolak rancangan kebijakan baru tersebut.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut sejumlah peristiwa yang terjadi dalam polemik penolakan RUU TNI.

Alasan Penolakan RUU TNI

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi salah satu organisasi yang menolak keras revisi UU TNI.

Dalam pernyataan resminya, YLBHI menyebut perubahan ini berpotensi mengembalikan militer ke ranah sosial-politik dan ekonomi-bisnis, sebagaimana terjadi di era Orde Baru.

“Upaya menghidupkan dwifungsi melalui revisi UU TNI: mengkhianati amanat reformasi, membahayakan demokrasi, negara hukum serta ancaman serius bagi hak asasi manusia,” tulis YLBHI dalam pernyataan resminya, Minggu (16/3/2025).

Baca juga: APBN 2025 Defisit Rp31,2 Triliun di Awal Tahun, Sri Mulyani Ungkap Penyebabnya

YLBHI menilai pasal-pasal dalam revisi ini bertentangan dengan agenda reformasi yang seharusnya menekankan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.

Sebaliknya, revisi ini dinilai justru memperluas keterlibatan militer dalam sektor sipil, termasuk dalam kementerian, lembaga negara, hingga badan usaha milik negara (BUMN).

Ada empat poin utama yang menjadi alasan penolakan:

1. Perpanjangan Masa Pensiun dan Penempatan Perwira Aktif di Jabatan Sipil

Dalam revisi Pasal 71, usia pensiun perwira TNI diperpanjang menjadi 62 tahun. YLBHI menilai kebijakan ini akan memperburuk penumpukan perwira non-job yang pada akhirnya dapat dimobilisasi ke berbagai lembaga negara dan BUMN.

Mereka menyoroti data Ombudsman (2020) yang mencatat ada 564 komisaris BUMN dengan rangkap jabatan, termasuk 27 anggota TNI aktif.

2. Perluasan Jabatan Sipil untuk Perwira TNI

Revisi ini mengizinkan perwira TNI aktif untuk mengisi posisi strategis di kementerian dan lembaga negara, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hal ini dianggap berbahaya karena dapat mengganggu independensi peradilan dan supremasi sipil.

3. Militer Dapat Berperan dalam Politik Keamanan Negara

Dengan wewenang baru dalam Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, militer memiliki ruang lebih besar dalam urusan politik dalam negeri. Ini dikhawatirkan dapat menghambat kebebasan sipil dengan dalih “keamanan negara.”

4. Militer Bisa Melaksanakan Operasi Tanpa Persetujuan DPR

Draft Pasal 7 memungkinkan operasi militer selain perang dilakukan tanpa persetujuan DPR, hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. YLBHI menilai ini berbahaya karena menghapus mekanisme checks and balances.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, juga mempertanyakan urgensi revisi ini.

“Perlu untuk menolak revisi Undang-Undang TNI kali ini. Kenapa? Karena publik tidak melihat adanya esensi apalagi urgensi bagi perluasan atau penambahan kewenangan TNI,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa TNI merupakan satu-satunya institusi yang belum menuntaskan mandat reformasi, terutama dalam hal peradilan militer.

“Misalnya reformasi peradilan militer, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang mewajibkan apabila ada anggota TNI yang melakukan kejahatan sipil, bukan kejahatan perang, maka wajib untuk disidangkan di peradilan umum,” katanya.

Menurut Julius, berbagai kasus yang melibatkan anggota TNI dalam ruang sipil, seperti korupsi di Basarnas dan peredaran narkoba di Tanjung Balai, menjadi bukti bahwa revisi ini justru berpotensi memperburuk tata kelola institusi militer.

Geruduk Rapat di Hotel Fairmont

Gelombang penolakan terhadap RUU TNI tidak hanya terjadi di ruang diskusi, tetapi juga berujung aksi protes langsung. Sabtu (15/3/2025), tiga perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil menerobos rapat tertutup Komisi I DPR yang membahas revisi UU TNI di Hotel Fairmont Jakarta.

Dalam aksi tersebut, Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, memimpin orasi menuntut agar pembahasan dihentikan.

“Kami menuntut agar proses pembahasan RUU TNI ini dihentikan karena tidak sesuai dengan proses legislasi, ini diadakan tertutup bapak-ibu,” teriak Andrie.

Aksi ini langsung dihadang oleh pengamanan hotel yang kemudian menutup rapat ruang pertemuan. Beberapa peserta rapat tampak terkejut dengan aksi tersebut, tetapi tetap melanjutkan pembahasan.

Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, membantah bahwa pembahasan dilakukan secara tergesa-gesa.

“Kalau saya yang tidak pake target. Tetapi kalau memang hari ini selesai dan saya anggap dan kita semua sepakat sudah lebih dari cukup dan baik, ya kenapa tidak?” kata Utut.

Teror terhadap KontraS

Pasca aksi protes di Hotel Fairmont, dugaan adanya upaya teror mulai dirasakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Kantor KontraS di Jakarta Pusat dipantau oleh orang tidak dikenal sejak Minggu dini hari.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, menyatakan bahwa situasi kantor mereka mulai terasa tidak kondusif.

“Saat ini memang situasinya boleh kami bilang tidak begitu kondusif karena teror dari pihak-pihak tidak dikenal terus mendatangi kantor kami begitu,” ujarnya.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, juga melaporkan tiga orang tidak dikenal mendatangi kantor mereka tengah malam, mengaku sebagai wartawan tanpa menyebut identitas medianya.

“Di waktu yang bersamaan, saya juga mendapatkan tiga panggilan telepon dari nomor tidak dikenal. Kami menduga ini berkaitan dengan aksi teror terhadap kami, pasca kami bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik proses legislasi Revisi UU TNI,” tambahnya.

Aksi Berujung Laporan Polisi

Tak sampai di situ, aksi protes terhadap pembahasan revisi UU TNI berbuntut laporan polisi. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, mengonfirmasi pihaknya telah menerima laporan terkait dugaan gangguan ketertiban umum.

“Polda Metro Jaya menerima laporan dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum dan atau perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan dan atau penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia, yang dilaporkan oleh RYR (pelapor sebagai security Hotel Fairmont, Jakarta),” ujar Ade Ary.

Laporan tersebut mencakup berbagai pasal dalam KUHP, termasuk Pasal 172 dan Pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum.

Meski demikian, aksi protes terhadap RUU TNI terus bergulir. Kelompok masyarakat sipil mendesak agar pembahasan dihentikan dan pemerintah lebih transparan dalam menyusun kebijakan terkait reformasi sektor militer di Indonesia.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

penolakan RUU TNI

RUU TNI

trending


Populer

Polemik RUU TNI: Alasan Ditolak, Geruduk Rapat, Teror, hingga Dilaporkan
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami