jurnalistika.id – Tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten melakukan penggeledahan di Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) pada Senin pagi (10/2/2025).
Penggeledahan dilakukan sebagai bagian dari penyelidikan dugaan korupsi dalam proyek jasa layanan transportasi dan pengelolaan sampah senilai Rp75 miliar.
Para petugas yang mengenakan rompi bertuliskan “Pidana Khusus Kejati Banten” menggeledah setiap sudut kantor DLH Tangsel. Tidak terkecuali membuka laci-laci dan memeriksa dokumen yang ada di meja kerja.
Suasana tampak tegang. Seorang staf perempuan berkemeja batik terlihat ditanyai petugas. Sementara seorang pegawai berjilbab cokelat tetap terpaku di depan komputernya.
Baca juga: 2 Alun-alun di Tangsel untuk Alternatif Tempat Olahraga
Penggeledahan berlangsung hingga siang hari, tetapi tak satu pun pejabat DLH yang bersedia memberikan keterangan kepada media.
Wali Kota Tangerang Selatan terpilih, Benyamin Davnie, mengaku sudah mengetahui penggeledahan ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum.
“Saya serahkan kepada proses hukum. Mudah-mudahan Kadis LH diberikan kesabaran,” ungkap Benyamin.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan menyebut pihaknya mendukung penuh pengusutan kasus yang sedang disorot Kejati Banten tersebut.
“Kami tidak akan memberi toleransi bagi jajaran yang terlibat dalam pelanggaran apapun, terlebih praktik rasuah,” katanya saat ditemui di Balai Kota Tangsel pada Jumat (7/2).
Kendati demikian, ia tetap berharap DLH bertugas seperti biasa dalam menangani permasalahan sampah di Tangerang Selatan. Sehingga tidak terjadi penumpukan yang menganggu masyarakat.
“Setiap hari ada ratusan ton sampah yang harus dibuang. Jangan sampai lingkungan ini mengganggu operasional,” tambahnya.
Dugaan Kongkalikong di Balik Proyek Sampah Rp 75 Miliar
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangsel, Wahyunoto Lukman, telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kejati Banten sebelum akhirnya menghilang dari kantornya.
Asisten Intelijen Kejati Banten, Aditya Rakatama, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula dari aksi unjuk rasa warga Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang.
“Dari nilai kontrak tersebut terdiri dari Rp 50 miliar untuk jasa transportasi dan Rp 25 miliar untuk layanan pengelolaan sampah. Kasus dugaan korupsi ini bermula dari aksi unjuk rasa warga di Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang,” ujarnya.
Baca juga: Daftar Lokasi Agen dan Pangkalan Resmi Gas Elpiji 3 Kg di Tangsel dan Sekitarnya
Warga protes karena menemukan sampah yang dibuang secara liar di wilayah mereka. Setelah ditelusuri, sampah tersebut berasal dari Kota Tangerang Selatan.
Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa perusahaan penyedia jasa, PT EPP, ternyata tidak memiliki kapasitas dan fasilitas yang memadai untuk menangani sampah. Perusahaan tersebut juga tidak menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam operasionalnya.
“Hasil penyidikan juga mengungkap adanya indikasi kongkalikong antara pihak swasta dan instansi terkait. Sehingga, PT EPP yang tidak memiliki kapasitas memadai mendapatkan kontrak tersebut,” tutur Aditya.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.