jurnalistika.id – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China memang terdengar seperti konflik antarnegara adidaya yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Tapi jangan salah, apa yang terjadi ribuan kilometer dari Indonesia itu bisa berdampak langsung ke dompet, harga kebutuhan pokok, bahkan lapangan pekerjaan di tanah air.
Perang dagang antara China dan Amerika Serikat sejatinya sudah terjadi cukup lama. Kedua negara terus berupaya menunjukkan kekuatan masing-masing dalam dunia internasional.
Namun, perang dagang tersebut sempat mereda saat masa pemimpinan Joe Biden di AS. Lalu setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih, perang dagang kembali bergejolak.
Ketegangan terbaru bermula pada Rabu, 2 April 2025. Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan tarif resiprokal terhadap hampir seluruh barang impor yang masuk ke negaranya, termasuk dari China.
Baca juga: Untung Rugi Jika TKDN Dihapus
Nilainya tak main-main, dimulai dari 10 persen, hingga khusus untuk China dikenakan tarif sebesar 34 persen. Hal itu bukan sekadar gertakan politik.
Melalui sebuah Perintah Eksekutif, Trump menyebut langkah itu sebagai cara untuk “menyeimbangkan kembali arus perdagangan global.”
Tentu saja China tak tinggal diam. Hanya dua hari berselang, pada 4 April, mereka membalas dengan tarif 34 persen terhadap produk asal AS.
Situasi semakin memanas ketika Trump kembali menggertak akan menaikkan tarif menjadi 50 persen jika China tidak mencabut kebijakannya. Dan benar saja, 7 April, tarif itu diberlakukan.
Artinya, total beban tarif produk China yang masuk ke AS kini mencapai 104 persen. Sebagai balasan, China menaikkan tarif produk AS jadi 84 persen, sebelum akhirnya Trump mengumumkan tarif baru lagi 125 persen, yang bahkan kemudian naik lagi jadi 145 persen.
Apa Urusannya dengan Rakyat Indonesia?
Buat orang awam, angka-angka tarif ini mungkin terasa seperti statistik abstrak. Namun, dampaknya sangat nyata bagi Indonesia.
Indonesia bukan hanya mitra dagang kedua negara tersebut, tetapi juga sangat tergantung pada kestabilan ekonomi global. Terutama lewat jalur ekspor komoditas dan pergerakan modal asing.
Ekonom INDEF, Tauhid Ahmad, memperingatkan bahwa ketegangan dagang ini bisa jadi “alarm bagi kita.” Ia menegaskan bahwa ekspor Indonesia ke China sangat besar.
Baca juga: Alasan Masyarakat Perlu Tahu Dampak Nilai Tukar Rupiah yang Melemah
Jadi ketika ekonomi China melambat karena perang dagang, permintaan terhadap produk ekspor Indonesia pun ikut menurun. Sektor seperti kelapa sawit (CPO), nikel, dan migas yang merupakan penyumbang besar penerimaan negara, bisa terkena imbas serius.
“Harga komoditas sebagai patokan kita untuk penerimaan negara. Misalnya dari PNBP migas, dari komoditas misalnya CPO, nikel, yang lain-lain, turun otomatis penerimaan negara turun,” jelasnya, seperti dikutip dari DetikFinance pada Selasa (15/4/2025).
IHSG Bisa Terjun Bebas
Dampaknya tak berhenti di situ. Ketidakpastian global membuat investor asing mulai mengalihkan dana mereka ke tempat yang lebih aman.
Dalam istilah ekonomi, mereka mencari safe haven assets. Hal ini tercermin dari aksi jual besar-besaran di pasar saham Indonesia usai libur lebaran.
Hanya dalam satu hari, investor asing menarik dana hingga hampir Rp4 triliun dari pasar saham. Jika diakumulasi sejak awal tahun, dana asing yang hengkang mencapai Rp35,64 triliun.
Tauhid bahkan menyebut bahwa “IHSG bisa ambruk lagi” karena tekanan dari kondisi global ini. Dan ketika pasar saham lesu, efek dominonya bisa ke mana-mana.
Mulai dari pembiayaan perusahaan tersendat, rencana ekspansi tertunda, hingga peluang kerja baru semakin tipis.
Sektor Pariwisata Ikut Tertekan
Bukan cuma sektor keuangan dan ekspor, dunia pariwisata juga kena getahnya. “Sektor-sektor services pasti terganggu seperti di tourism,” kata Tauhid.
Dengan ketidakpastian ekonomi global, biaya perjalanan makin mahal, dan orang jadi enggan bepergian.
Efeknya bisa dirasakan dari hotel yang sepi, restoran yang kehilangan pelanggan, sampai pedagang kecil di tempat wisata yang penjualannya turun drastis.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Ekonom Universitas Paramadina, Samirin Wijayanto, menyarankan Indonesia untuk tidak tinggal diam menghadapi situasi global yang makin rumit ini. Ia menekankan pentingnya “pendekatan taktis dengan AS” sembari memperkuat ekonomi domestik.
Kerja sama dengan negara-negara lain juga harus diperkokoh, terutama dalam suasana krisis seperti sekarang. Dalam kata-katanya, “kita harus memanfaatkan momentum perasaan senasib sepenanggungan ini sebaik-baiknya.”
Langkah ini masuk akal, karena ketika dua raksasa dunia sibuk adu tarif, negara-negara kecil dan menengah seperti Indonesia bisa mengambil celah untuk memperkuat posisi strategisnya. Baik dalam hubungan bilateral maupun dalam rantai pasok global.
Harga Barang Impor Naik, Siap-Siap Ngerogoh Kocek Lebih Dalam
Tak hanya lewat jalur makro, dampak perang dagang ini juga bisa dirasakan langsung oleh konsumen. Tarif setinggi 145 persen yang diterapkan AS pada produk China tentu akan membuat barang-barang impor jadi jauh lebih mahal.
Meski tak semua barang itu masuk ke Indonesia, kenaikan harga di pasar global akan menular ke sini juga. Bayangkan harga ponsel, komputer, bahkan mainan anak bisa ikut naik, karena rantai pasok dunia sudah begitu saling terhubung.
Baca juga: Hidup Ala Joker (2019): Antara Tragedi dan Komedi
Bagi para pelaku usaha, terutama UKM yang mengandalkan barang setengah jadi atau bahan baku dari luar, perubahan struktur tarif ini menciptakan ketidakpastian baru. Biaya produksi bisa melonjak, margin laba menipis, dan mereka terpaksa menaikkan harga jual.
Melihat hal tersebut, dapat dilihat bahwa perang dagang antara AS dan China bukan sekadar urusan diplomasi tingkat tinggi atau headline berita ekonomi global.
Peristiwa tersebut adalah gelombang besar yang bisa menghempas hingga ke dapur rakyat biasa. Dari harga barang, nilai tukar, investasi, sampai peluang kerj semuanya bisa terganggu.
Oleh sebab itu, bukan berlebihan jika dari sekarang rakyat mulai peduli dan mewaspadai dampaknya dari sekarang. Ekonomi global memang tak bisa dikendalikan, tapi kesiapan menghadapi gejolaknya adalah kunci bertahan di masa yang penuh ketidakpastian ini.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini
Sumber: Antara News, Tempo, DetikFinance, CNBC Indonesia