jurnalistika.id – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur kembali mencuat di Kota Bandung. Seorang siswi kelas 5 SD berinisial S menjadi korban rudapaksa yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
Ironisnya, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bandung, yang seharusnya memberikan perlindungan, dinilai lalai dalam menangani kasus ini.
Kelalaian tersebut berpotensi membahayakan nyawa korban, yang hingga kini belum mendapatkan perlindungan maksimal.
Padahal, laporan awal telah disampaikan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat, tetapi UPTD PPA Bandung tidak segera mengambil langkah konkret.
Baca juga: Oknum TNI Bunuh Pacar di Tangsel, Terancam Dipecat
Kasus ini pertama kali terungkap pada awal Januari 2025, setelah pihak sekolah curiga dengan perubahan perilaku korban. Korban kerap menyendiri dan menunjukkan tanda-tanda fisik yang mencurigakan.
Saat ditanya lebih lanjut, korban mengungkapkan ia telah mengalami kekerasan seksual berulang kali oleh ayahnya sendiri. Sejumlah pihak lantas kemudian melaporkan kejadian ini ke kepolisian dalam bentuk pengaduan masyarakat.
Namun, hingga kini, keluarga korban belum membuat laporan resmi karena ketidaksiapan mereka menghadapi proses hukum.
Kelalaian UPTD PPA Dikecam
Kasus ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk aktivis perlindungan anak. Sekretaris Jenderal Sarekat Demokrasi Indonesia (SDI) Jawa Barat, Salsa El Bellen, menyesalkan lambannya respons UPTD PPA Bandung.
“Kelalaian yang terjadi menunjukkan adanya celah dalam sistem perlindungan anak yang seharusnya lebih sigap dalam menangani kasus-kasus sensitif seperti ini. Anak-anak harus menjadi prioritas utama, dan perlindungan terhadap mereka tidak bisa ditunda,” kata Salsa, Sabtu (8/2/2025).
“Kami mendesak pihak berwenang, termasuk UPTD PPA, untuk segera mengambil langkah konkret untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang,” sambungnya.
Baca juga: Prabowo Geram, Menteri yang Tak Seirama Terancam Dicopot
Senada dengan Salsa, Dewan Pengarah SDI Jawa Barat, Santri Agung Wardana, mengecam kelambanan dalam penanganan kasus ini.
“Berbicara kekerasan seksual terhadap anak ini seharusnya sudah menjadi kesadaran bersama, baik di masyarakat maupun dalam lingkungan pemerintahan di berbagai tingkatan,” tutur Santri.
“Lamanya penanganan kasus ini seolah-olah memberi gambaran nyata bahwa lembaga terkait tidak memiliki kesadaran moral yang cukup untuk cepat menyelesaikan masalah, bukannya terjebak oleh mekanisme birokrasi yang berbelit-belit,” tuturnya lagi.
Tuntutan Perbaikan Sistem Perlindungan Anak
Kasus ini menjadi bukti lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Fifih Roffiqoh, Sekretaris Jenderal Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Jawa Barat, menegaskan kasus ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Dampak traumatiknya bisa berkepanjangan, menghambat pertumbuhan dan perkembangan korban, bahkan merusak masa depan mereka,” ungkap Fifih.
“Pemerintah harus lebih serius dalam menangani kasus seperti ini dengan kebijakan yang tegas dan perlindungan hukum yang nyata. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman serta berani bersuara untuk melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan,” lanjutnya.
Baca juga: Wanita Berseragam Petugas Kebersihan Tewas Terserempet Kereta di Tangerang
Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap perlindungan anak.
Diharapkan dengan perhatian publik yang luas, kasus ini dapat ditangani dengan cepat dan memberikan keadilan bagi korban.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini